Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengurai Rantai Kekerasan di Pesantren

Kesalahan tata kelola dan kuatnya senioritas membuat praktik perundungan dan kekerasan di dunia pesantren masih kerap terjadi. Bagaimana mencegah terulangnya kekerasan di pesantren?

26 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH pertemuan bertema "Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS)" yang digagas Kementerian Agama di Makassar, Sulawesi Selatan, Oktober tahun lalu, muncul optimisme mengenai tata kelola pesantren di Tanah Air. Dalam pertemuan itu, para pengelola pondok pesantren mendapat perspektif baru untuk membangun kesadaran mengenai pengelolaan pesantren yang sesuai dengan perkembangan zaman: berparadigma anti-perundungan dan kekerasan seksual, anti-ekstremisme, sekaligus mendorong pesantren sebagai pusat peradaban yang maju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, belum juga nilai-nilai itu terintegrasi secara luas, sebuah tragedi kekerasan di pesantren yang memakan korban jiwa kembali terjadi. Awal Maret lalu, masyarakat dikejutkan dengan tragedi tewasnya Bintang Maulana, santri yang diduga dianiaya sejumlah seniornya di Pondok Pesantren Tartilul Qur'an Al-Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur. Peristiwa ini mengingatkan kita pada tragedi serupa pada September 2022 yang menewaskan seorang santri Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rentetan kasus ini memunculkan stigma buruk terhadap pesantren dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Bahkan, di media sosial, banyak warganet yang seolah-olah menggambarkan pesantren sebagai tempat mencekam bagi para calon pencari ilmu (santri ataupun santriwati).

Rantai Perundungan di Pesantren

Berbagai peristiwa kekerasan tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan upaya pesantren mencetak generasi berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Lalu apa penyebab masih terulangnya kasus perundungan dan kekerasan di lingkup pesantren?

Berdasarkan fakta dan penelusuran penulis, aneka kasus itu terjadi salah satunya akibat alih fungsi kepengurusan pesantren yang dibebankan kepada santri senior. Padahal bisa jadi mereka belum mumpuni secara mental dan emosional untuk dijadikan pengurus asrama atau berperan sebagai perpanjangan tangan kiai (pemimpin pondok pesantren). Santri yang dijadikan pengurus berisiko melakukan perundungan karena merasa punya status lebih tinggi dibanding para junironya. Kondisi ini dapat memicu perbuatan semena-mena. 

Faktor kedua ialah rantai perilaku santri senior terhadap juniornya. Tradisi yang bersifat perundungan akan terus melekat dan menjadi tradisi turun-temurun. Tradisi buruk itu, seperti perilaku agresif dan merendahkan santri junior, justru dilanggengkan para santri senior yang menjadi pengurus pondok pesantren. Ketiga, aksi-aksi perundungan juga bisa dilihat sebagai cara menegakkan hierarki sosial di pesantren, terutama oleh para santri senior yang diberi mandat memberikan penghargaan (reward) atau hukuman (punishment) kepada santri baru atau junior.

Lingkungan pesantren yang kurang terawasi, ditambah aturan yang tidak berpijak pada pentingnya integrasi nilai-nilai anti-perundungan, menciptakan ruang bagi perilaku perundungan berkembang. Ketika tidak ada konsekuensi yang jelas bagi pelaku perundungan, mereka merasa bebas dan tidak terawasi.

Sementara itu, dari sisi korban atau para santri junior, ada rasa cemas dan ketakutan untuk melaporkan aksi perundungan itu. Sering kali pula ada kasus para santri yang menolak aksi perundungan justru mendapat ancaman dari kelompoknya. Akibatnya, mereka khawatir menjadi sasaran jika menentang atau menolak ikut serta dalam aksi perundungan.

Masalah lain adalah pendidikan karakter santri yang belum menjadi perhatian utama pengasuh pondok pesantren dan para kiai dalam mendidik santri. Mereka cerdas dalam mengatasi problem keagamaan, tapi belum tentu cerdas dalam menyelesaikan persoalan sosial, serta kurang memiliki empati dan rasa kemanusiaan.

Dari Senioritas Menuju Solidaritas

Mengatasi perilaku senioritas yang melegalkan tindakan kekerasan di pesantren merupakan tantangan yang membutuhkan pendekatan holistik dari berbagai aspek. Jika hal ini tidak dilakukan, petaka bagi dunia pesantren akan datang: masyarakat akan meninggalkan pesantren. Padahal kita tahu, sejak ratusan tahun lalu, pesantren terbukti menghasilkan generasi yang kompeten dan mampu menempati posisi strategis di berbagai lembaga negara ataupun lingkungan sosial masyarakat. Banyak lulusan pesantren yang aktif berpartisipasi dalam mendorong kemajuan peradaban Islam di dunia.

Capaian tersebut tentu tak bisa dianggap remeh. Karena itu, upaya membangun kesadaran di kalangan kiai, santri, dan berbagai elemen dalam sektor ini harus terus ditingkatkan. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengukuhkan solidaritas yang memperkuat persatuan dan meningkatkan kekuatan kolektif antarsantri. Ketika santri merasa terhubung dan mendukung satu sama lain, mereka mampu mengatasi tantangan dan menghadapi perubahan dengan lebih efektif.

Solidaritas antarsantri akan menghasilkan rasa saling peduli dan dukungan dalam situasi sulit. Ketika seseorang atau sekelompok orang mengalami kesulitan atau krisis, solidaritas memicu respons empati serta upaya bantuan dari santri dan pengurus yang lain. Hal ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan di mana para santri merasa didukung dan dilindungi, bukan sebaliknya. 

Nilai-nilai solidaritas antarsantri juga akan mengurangi kesenjangan, yang dilakukan dengan mendorong pembagian sumber daya yang lebih adil dan inklusif. Ketika santri merasa terlibat serta bertanggung jawab terhadap kebaikan bersama, mereka cenderung bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan ramah bagi semua santri. Mereka juga harus mampu melihat kesamaan dan nilai-nilai bersama di antara perbedaan mereka. Dengan demikian, upaya mengatasi konflik dan membangun hubungan yang lebih harmonis dapat lebih mudah dilakukan.

Mengubah persepsi dan sikap kalangan pesantren terhadap tradisi senioritas dan perundungan dapat dilakukan dengan membangun pendidikan keagamaan yang kental akan nilai solidaritas, yang meliputi empati, toleransi, dan pengendalian diri. Upaya mengubah pola pikir yang mendukung kekerasan penting dilakukan dengan pembinaan karakter yang memperkuat koneksi sosial dan meningkatkan resiliensi para santri terhadap konflik.

Partisipasi aktif para nyai di pesantren yang mewakili perempuan dan anak-anak dalam pengambilan keputusan serta pengembangan pesantren pun dapat membantu mengurangi tingkat kekerasan berbasis gender. Selain itu, pendidikan di pesantren perlu diarahkan pada keterampilan penyelesaian konflik yang damai, seperti komunikasi nonviolent dan mediasi. Program-program pelatihan dan pendampingan dalam penyelesaian konflik dapat membantu memperkuat kemampuan ini.

Tak adanya suasana "solider" (rasa senasib dan setia kawan) antarsantri menjadi salah satu faktor utama penyebab berbagai peristiwa-peristiwa kekerasan di pesantren. Kasus-kasus yang membuat masyarakat berang itu tak boleh terulang lagi.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas

Ayub Wahyudin

Ayub Wahyudin

Mahasiswa Program Doktoral UIN Walisongo Semarang, Ketua Prodi Akhlak dan Tasawuf Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus