Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Manuver para elite setelah pemilihan presiden sungguh menjadi tontonan yang menjijikkan. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, seperti yang dipidatokan di panggung-panggung kampanye, mereka tak lebih dari sekadar mengejar sekerat kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perebutan kursi politik itu dibungkus jargon "rekonsiliasi" para pelaku kontestasi pemilihan presiden, yang dimenangi Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Persaingan lima tahunan dibuat seolah-olah sebagai pertarungan hidup-mati, dan karenanya memerlukan rujuk nasional setelahnya. Jargon itu menemukan pijakannya setelah kubu pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memprotes hasil pemilihan presiden yang berujung tragedi pada 22-23 Mei 2019. Menurut polisi, sembilan orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka akibat kerusuhan yang berawal dari demonstrasi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, bahkan sebelum luka-luka korban sembuh, kedua kubu sudah berangkulan untuk membagi-bagikan kekuasaan. Para elite bertemu, tapi lebih untuk saling menekan. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo makan siang bersama. Petinggi koalisi Jokowi minus PDIP sebelumnya juga bertemu. Bahkan, secara demonstratif, pada hari yang sama, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pun makan siang bersama Gubernur DKI Anies Baswedan-yang selama ini dikesankan berseberangan dengan Jokowi. Surya terlihat sedang "mengasapi" kubu partai berlambang banteng itu dengan melontarkan pernyataan yang belum waktunya: Partai NasDem mendukung Anies pada pemilihan presiden 2024.
Bukan kebetulan, kedua partai sedang berebut posisi strategis, antara lain Jaksa Agung. Partai lain menganggap, dengan menempatkan kadernya di posisi itu, NasDem berhasil memetik keuntungan besar. Pada pemilu lalu, mereka ada kemungkinan mendapat tambahan 20 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tak mengherankan jika PDIP mengincarnya. Daya tawar pun ditingkatkan dengan menggandeng Gerindra, partai Prabowo. Dalam konteks itulah "persaingan makan siang" di Teuku Umar dan Gondangdia.
Praktik oligarki seperti ini menempatkan pemilih hanya sebagai kerumunan tak berarti. Kaum oligark menganggap demokrasi hanyalah sarana meraih kekuasaan. Mekanisme cek dan keseimbangan politik, yang mensyaratkan adanya oposisi kuat, dibuang ke keranjang sampah.
Dalam demokrasi, pihak yang kalah semestinya tidak harus mendapat kompensasi. Kubu yang kalah justru mendapat tempat terhormat, yakni menjadi alat pengontrol pemerintahan. Dengan begitu, kemungkinan pemerintah menyimpang bisa ditangkal sejak awal. Model kompromi yang terjadi sekarang mengindikasikan kembalinya "negara kekeluargaan" ala Orde Baru.
Jokowi memiliki tanggung jawab untuk mencegah hegemoni oligarkis ini. Ia semestinya menempatkan orang yang independen pada posisi-posisi strategis, seperti Jaksa Agung, Menteri Hukum, dan Menteri Keuangan. Ia tak harus terjebak pada bagi-bagi kekuasaan.
Hanya dengan cara itu Jokowi bisa membuktikan ucapannya bahwa pada periode kedua pemerintahannya ia sama sekali tak memiliki beban. Sebaliknya, jika gagal, publik akan kuat menganggap dia betul-betul sebagai petugas partai.