Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mendadak Jokowi

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN presiden masih setahun lagi, tapi lima bakal calon sudah mengumumkan niat maju berlaga. Bisa dimengerti bila para "balon" itu pagi-pagi sudah pasang kuda-kuda. Soalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah dua periode menjabat, sesuai dengan konstitusi tak bisa dipilih kembali.

Ternyata, menurut survei berbagai lembaga, hampir semua calon yang menyatakan siap menjadi presiden itu kurang menarik simpati publik. Sebagian malah dibelit berbagai persoalan masa lalu, misalnya pelanggaran hak asasi manusia kategori berat, kasus pajak, atau kerusakan lingkungan berskala besar.

Uniknya, calon yang belakangan menyedot perhatian publik sampai sekarang belum menyatakan bersedia bersaing di pentas pemilihan RI-1. Dialah Joko Widodo alias Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang baru sembilan bulan menjabat Gubernur DKI Jakarta. Gejala "mendadak Jokowi" itu terekam dalam hasil survei sepuluh lembaga, dari Februari sampai Juli ini.

Elektabilitas Jokowi selalu di atas 20 persen, bahkan ada lembaga yang mencatat angka 68 persen. Hanya Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memenangkan Prabowo Subianto, bekas Panglima Kostrad yang diberhentikan dari dinas militer setelah kerusuhan Mei 1998. Tapi, dalam survei ini, LSN tidak mencantumkan Jokowi sebagai salah satu pilihan.

Walhasil, fenomena "Joko-Wow" merebak cepat. Anggapan bahwa Jokowi layak dipilih barangkali karena ia punya gaya berbeda dengan pemimpin lain. Agenda blusukan orang Solo yang di masa kecil menghuni bantaran sungai ini tidak hanya mengundang apresiasi masyarakat, tapi juga ditiru pemimpin lain. Program-program Jokowi dianggap memihak wong cilik. Persepsi publik itulah yang bisa mengantarkan Gubernur DKI Jakarta itu ke jabatan eksekutif tertinggi negeri ini: Presiden RI.

PDI Perjuangan mesti pandai memanfaatkan "Jokowi's effect" ini. Melihat semua hasil survei, memasang Jokowi sebagai calon presiden akan menjadi semacam "kartu as" kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilihan legislatif pada 9 April 2014. Bukan mustahil faktor Jokowi ini akan mengantar PDI Perjuangan meraih 25 persen suara, syarat minimal partai atau gabungan partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009. Dengan popularitasnya, ia diperkirakan bisa merebut sebagian besar suara pemilih di Jawa, yang merupakan 60 persen suara seluruhnya.

Situasi akan berbeda, misalnya, bila Megawati Soekarnoputri, ketua umum partai, memaksa mencalonkan diri untuk ketiga kalinya sebagai presiden. Selain faktor usia yang sekarang 66 tahun, kecakapan memimpin Presiden RI kelima itu tergolong kurang mengesankan.

Bila PDI Perjuangan tidak mencalonkan Jokowi, belum tentu tak ada partai lain yang meminangnya. Seandainya syarat mencalonkan presiden kelak diputuskan tetap 25 persen suara, mungkin hanya tiga atau empat kontestan yang bertanding. Itu pun dengan catatan PDI Perjuangan, Demokrat, dan Golkar bisa menambah suara dari perolehan pemilu lalu.

Memang tak sedikit yang berpendapat sebaiknya Jokowi tetap berkonsentrasi membenahi Jakarta. Ia baru mulai merombak birokrasi, tapi belum menyentuh dua persoalan akut: macet dan banjir. Lagi pula ia masih relatif muda, 52 tahun. Namun, perlu diingat, pembenahan Ibu Kota membutuhkan otoritas yang lebih dari jabatan gubernur.

Konsep megapolitan yang melibatkan provinsi lain, dan berguna mengatur aliran alir ke Jakarta, misalnya, tak bisa diwujudkan seorang Gubernur Jakarta belaka. Begitu pula rencana pemindahan ibu kota, salah satu solusi mengurangi macet, mesti diputuskan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Jangan-jangan solusi kemacetan dan banjir di Jakarta perlu menunggu presiden baru.

Sejak era reformasi—lagi-lagi bila survei menjadi patokan—barangkali hanya Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 yang mampu menandingi perhatian publik pada Jokowi. Jika ia tetap pada platform prorakyat, Jokowi rasanya sulit dibendung. Soalnya tinggal siapa wakil presiden yang akan mendampingi "presiden pilihan survei" itu. Pelajaran dari periode kedua Presiden Yudhoyono, yang tersandera koalisi "setengah hati", bisa diambil hikmahnya untuk meraih dukungan luas yang "tak berubah searah cuaca" di parlemen.

Jokowi tentu menyimak semua dinamika ini. Bila ragu maju, ia perlu mengingat masa ketika sebagai ketua asosiasi pengusaha mebel yang "tak bermodal apa-apa" akhirnya berhasil meraih kursi Wali Kota Solo. Ia pernah keluar dari perusahaan kertas besar di Aceh karena atasan yang kasar, pengalaman yang seharusnya mengajarkan bahwa Indonesia perlu pemimpin yang tak punya rekam jejak melukai hati rakyat. Sebagai pegiat diskusi politik semasa di kampus, ia pasti paham bahwa demokrasi kita tumbuh di tangan pemimpin yang mampu menggerakkan partisipasi rakyat. Demokrasi justru mati di genggaman pemimpin tangan besi yang suka memaksakan kehendak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus