Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK hujan tak badai, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyatakan Indonesia memerlukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pernyataan itu ia sampaikan dalam pidato pembukaan Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan di Jakarta, Ahad dua pekan lalu.
Megawati sepertinya menjadikan GBHN sebagai "pijakan" untuk "mengkritik" pemerintah Presiden Joko Widodo yang terkesan sulit dikontrol partainya. Apalagi Jokowi gemar menempuh pelbagai inovasi pembangunan yang ia janjikan dalam kampanye pemilihan dua tahun lalu. Dengan memberikan saran itu, Megawati seperti ingin membawa kembali Republik ke era "daripada" Soeharto, rezim yang justru membatasi hak-hak politiknya. Penghapusan GBHN justru merupakan amanat gerakan menumbangkan rezim Orde Baru itu.
Setelah Soeharto jatuh, Undang-Undang Dasar diamendemen, antara lain dengan mendistribusikan kekuasaan ke daerah melalui otonomi, dan presiden tak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di zaman Soeharto, MPR dianggap sebagai representasi kekuasaan orang banyak sehingga perlu membuat GBHN yang harus dijalankan presiden sebagai mandataris. Jika GBHN dihidupkan lagi, kita seperti diajak kembali ke orde diktatorial itu. Saran ini juga sarat emosi dan menegaskan keinginan Megawati bahwa presiden sekadar petugas partai, karena pencalonan presiden harus melalui partai politik.
Meski saran itu ia ajukan melalui kajian lembaga penelitian PDI Perjuangan, agaknya tak dipikirkan soal ongkos yang mahal untuk merealisasinya. Menghidupkan GBHN berarti mengamendemen pelbagai undang-undang yang sudah jalan selama lebih dari sepuluh tahun. Maka saran Megawati itu bertolak belakang dengan kenyataan politik hari ini. Apalagi ia juga menyarankan, bila perlu, rumusan pembangunan tak hanya untuk jangka lima-sepuluh tahun, tapi seratus tahun ke depan!
Betapa berbahayanya pikiran seperti itu. Megawati dan penguasa sekarang merasa berhak menentukan nasib penduduk Indonesia satu abad yang akan datang dengan memakai pendekatan masalah hari ini, yang tantangan dan situasinya tentu berbeda dengan seabad kelak. Saran ini sama sekali tak memperhitungkan kelipatan lompatan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi.
Adanya GBHN juga tak adil bagi pemimpin Indonesia yang dipilih secara langsung, karena akan membatasinya membuat inovasi kebijakan. Desentralisasi membuat kekuasaan teknis kini praktis sepenuhnya berada di tangan bupati atau wali kota. Undang-Undang Otonomi Daerah hanya memberikan hak kepada pemerintah pusat dalam enam hal: agama, pertahanan, keamanan, politik luar negeri, keadilan, dan fiskal. Urusan lain yang menyangkut pembangunan daerah diserahkan kepada tiap kepala daerah. GBHN akan bertabrakan dengan itu semua.
Barangkali saran itu merepresentasikan pokok pikiran yang menjadi aura PDI Perjuangan selama ini. GBHN sebetulnya merupakan model "demokrasi terpimpin". Soeharto sesungguhnya melanjutkan kekuasaan terpusat yang pernah dipraktekkan Sukarno, presiden pertama dan ayahanda Megawati—yang hingga kini menjadi "jimat" PDI Perjuangan meraup suara pendukung.
Sudah saatnya PDI Perjuangan berbenah, beradaptasi dengan perkembangan zaman yang penuh inovasi tak terduga. Ada baiknya juga Megawati dan PDI Perjuangan berfokus mengawal program kerja pemerintah agar tak melenceng dari cita-cita menyejahterakan rakyat—seperti diuarkan Sukarno dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo