Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Mendongkrak Rasio Pajak

Kinerja penerimaan pajak Indonesia sedang mendapat sorotan.

12 Agustus 2019 | 08.09 WIB

Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam acara penghargaan wajib pajak kepada sejumlah pengusaha di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 13 Maret 2018. Melalui program Amnesti Pajak, Sri Mulyani juga dianggap berhasil meningkatkan kepatuhan pajak. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam acara penghargaan wajib pajak kepada sejumlah pengusaha di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 13 Maret 2018. Melalui program Amnesti Pajak, Sri Mulyani juga dianggap berhasil meningkatkan kepatuhan pajak. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kinerja penerimaan pajak Indonesia sedang mendapat sorotan. Laporan Revenue Statistics in Asian and Pacific, yang dirilis OECD pada akhir Juli lalu, menilai perekonomian Indonesia yang berukuran besar, uniknya, memiliki tingkat penerimaan pajak yang terlalu rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rendahnya penerimaan pajak, yang diukur dari rasio pajak pada 2017, hanya sebesar 11,5 persen. Ini merupakan angka terkecil, bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik, seperti Tokelau, yang mencapai 14,2 persen, atau Vanuatu, yang sudah mencapai 17,1 persen.

Dalam pandangan OECD, Indonesia semestinya bisa meningkatkan rasio pajak hingga minimal sama dengan negara-negara berkembang lain yang sudah mencapai level 15 persen. Bahkan, untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (SDG), posisi rasio penerimaan pajak setidaknya 16 persen.

Per definisi, rasio pajak adalah perimbangan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi angka rasio pajak, semakin tinggi pula kinerja pajak suatu negara.

Namun rasio pajak merupakan indikator kasar untuk membuat komparasi kinerja pajak lintas negara. Karena itu, perbandingan rasio pajak antara Indonesia dan negara lain tidak bisa langsung dilakukan tanpa mempertimbangkan karakteristik pembentukannya.

Maka, debat yang muncul bersumber dari dua hal, yakni angka pembilangnya dan besaran penyebutnya. Pada umumnya, "penerimaan pajak" adalah pajak negara yang dipungut oleh pemerintah pusat. Dengan dasar pengukuran ini, rasio pajak Indonesia memang masih relatif rendah.

Jika pengertian "penerimaan pajak" diperluas hingga mencakup pajak daerah dan pungutan atas sumber daya alam, rasio pajak telah mencapai 13 persen. Sayangnya, angka ini pun masih tetap di bawah standar internasional. Walhasil, kapasitas pemungutan pajak secara nasional, harus diakui, masih perlu banyak pembenahan.

Dari sisi penyebutnya, dengan status keanggotaan Indonesia pada G-20-kelompok 20 negara dengan PDB terbesar-rasio pajak Indonesia semestinya bisa meningkat secara sepadan. Hanya, struktur pembentukan PDB sangat berbeda. Pelaku ekonomi di Indonesia lebih banyak bergerak di sektor yang bukan subyek pajak.

Besarnya pelaku ekonomi yang bergerak di sektor primer menyebabkan kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB masih signifikan. Demikian pula di sektor industri, 99 persen bangun usaha berukuran kecil dan menengah. Sementara itu, di sektor jasa, terdapat banyak unit usaha dengan status informal. Kondisi ini diklaim menjadi kendala peningkatan rasio pajak.

Apa pun alibinya, peringatan OECD bagi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak patut diperhatikan kendati hal ini tidak mudah. Logikanya sederhana. Kenaikan penerimaan pajak harus lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Kondisi perekonomian nasional dan global yang sedang mengalami ketidakpastian berimbas pada perolehan pajak.

Perolehan pajak ke depan ada kemungkinan stagnan, mengingat kebijakan fiskal di Indonesia belakangan ini sedang getol menawarkan berbagai insentif perpajakan. Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan ini. Tahun lalu, potensi penerimaan pajak yang hilang sekitar 1 persen dari PDB.

Pertumbuhan penerimaan pajak juga sulit ditingkatkan lantaran penerimaan pajak tipikal inelastis. Konsekuensinya, pertumbuhan pajak tidak bisa melebihi pertumbuhan PDB. Sebagai rujukan, elastisitas pajak pada 2017 hanya sebesar 0,36. Artinya, 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menaikkan penerimaan pajak sebesar 0,36 persen. Lagi pula, secara empiris, tidak ada satu negara pun yang dapat menaikkan penerimaan pajak dua kali di atas pertambahan nominal PDB-nya (Abimanyu, 2015).

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendongkrak rasio pajak. Pertama, meminimalkan penyimpangan pembayaran pajak. Hal ini relevan untuk mengkonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak.

Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan data perpajakan. Data yang bersumber dari program amnesti pajak, pertukaran informasi keuangan secara otomatis, dan pihak ketiga bisa menjadi acuan dalam mengukur kepatuhan wajib pajak. Salah satu faktor pendorong kepatuhan wajib pajak dalam sistem self-assessment adalah ketersediaan data yang valid.

Ketiga, mentransformasikan "ekonomi bawah tanah" menjadi ekonomi riil sehingga bisa terjangkau pajak. Menurut Medina dan Scheneider (2018), angka ekonomi bayangan di Indonesia mencapai 26,6 persen terhadap PDB.

Keempat, diversifikasi sumber perolehan pajak diarahkan kepada sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata layak dijadikan sebagai lahan baru penerimaan pajak. Perkembangan ini perlu diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Perpajakan dan regulasi turunannya.

Hal-hal ini seharusnya dimasukkan ke agenda reformasi perpajakan. Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal, tidak bijak apabila harapan menaikkan rasio pajak dilakukan dengan ekstensifikasi. Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa perbaikan ekosistem yang melingkupinya niscaya akan kontraproduktif, tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga masyarakat.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus