Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kerusuhan yang kemarin meletus di sejumlah kota di Papua harus menjadi momentum untuk mengakhiri konflik yang bertahun-tahun terjadi di sana. Perusakan fasilitas umum di beberapa kota, seperti Manokwari, Sorong, dan Jayapura, tentu disayangkan dan merugikan banyak orang. Karena itu, penting memastikan bahwa insiden tragis ini memicu skema penyelesaian konflik yang adil untuk orang Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sejak awal, jika aparat keamanan bertindak proporsional dan adil dalam menangani laporan perusakan bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, pekan lalu, rentetan amuk massa kemarin tak bakal terjadi. Tapi, yang terjadi, polisi terkesan melakukan pembiaran sehingga praktik penghakiman massa yang merendahkan harkat serta martabat orang Papua terus terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Puncaknya adalah ketika polisi menyerbu masuk ke asrama mahasiswa Papua di Surabaya sambil menembakkan gas air mata, seolah-olah mahasiswa di sana lebih berbahaya dari teroris. Penangkapan terhadap 34 mahasiswa tanpa bukti yang memadai juga berperan menyulut emosi warga di Papua.
Padahal, seandainya benar mahasiswa Papua melecehkan bendera kebangsaan sekalipun, hal itu bukanlah alasan untuk mengusir dan mempermalukan mereka. Polisi semestinya mengumpulkan bukti dan memulai penyidikan atas insiden bendera itu hingga tuntas sesuai dengan koridor hukum. Hal tersebut penting dilakukan agar kasus ini tak menjadi pembenaran atas kekerasan yang menimpa orang Papua.
Apalagi ini bukan peristiwa yang pertama. Dalam catatan Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, selama 2018 hingga Agustus 2019 telah terjadi delapan kali aksi pengusiran mahasiswa Papua di sana. Pembubaran kerap diwarnai dengan intimidasi, perampasan, pemukulan, hingga penangkapan paksa. Usaha para mahasiswa Papua untuk menyampaikan aspirasi tentang daerahnya justru lebih sering disambut dengan kekerasan.
Pengusiran mahasiswa Papua di Jawa yang terus terjadi menunjukkan kontradiksi cara pandang banyak orang dalam memandang Papua. Di satu sisi, khalayak terus mendorong agar Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia. Tapi, di sisi lain, keberadaan mahasiswa Papua terus diganggu isu rasisme dan tindak kekerasan.
Penanganan isu Papua semakin rumit karena pemerintah terkesan menyederhanakan masalah ini menjadi sebatas persoalan keamanan atau makar belaka, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas, yakni ketidakadilan yang bertahun-tahun dialami orang Papua. Cara pandang semacam inilah yang membuat konflik di sana terus berlarut-larut. Tak bisa dimungkiri, selama ini, sumber daya alam di Papua-dari hutan, minyak bumi, tembaga, hingga emas-dikeruk tanpa banyak memberi keuntungan bagi warga lokal.
Penanganan terhadap kerusuhan kemarin mustahil dilakukan tanpa upaya penyelesaian konflik besar tersebut. Sayangnya, saat ini sebagian besar warga Papua kecewa, bahkan cenderung kurang percaya, terhadap Jakarta. Presiden Joko Widodo harus menegaskan posisinya dan mulai membangun rasa saling percaya dengan pemimpin di Papua. Tanpa hal itu, siklus kekerasan akan terus berulang.