Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Gugatan masyarakat atas pengaturan dana bagi hasil terus terjadi.
Gugatan masyarakat selalu datang dari daerah penghasil minyak dan gas bumi.
Bagaimana mencapai perimbangan keuangan pusat dan daerah yang berkeadilan?
Idul Rishan
Pengajar Departemen Hukum Tata Negara FH UII
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlawanan aliansi masyarakat sipil Blora atas pengaturan dana bagi hasil (DBH) pertambangan minyak dan gas bumi di Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menunjukkan tingginya harapan daerah terhadap pemerintah pusat mengenai perimbangan keuangan yang adil. Perlawanan masyarakat selalu datang dari daerah penghasil dan sekitar kawasan penghasil minyak dan gas bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Blora, kasus serupa juga pernah terjadi di Mahkamah dalam satu dekade silam. Aliansi masyarakat sipil Kalimantan Timur juga pernah merasa dirugikan oleh pengaturan dana bagi hasil dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sumbu pemicunya selalu berangkat dari pembedaan perlakuan antara dana bagi hasil sumber daya alam di Provinsi Aceh dan Papua. Dengan status khusus, persentase dana bagi hasil di dua daerah tersebut dibuat berbeda dengan daerah penghasil yang lain.
Dalam pendekatan "originalisme" (pelaku perubahan UUD 1945), makna adil dan selaras dirumuskan bahwa pemerintah pusat memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah. Dalam pengaturan persentase dana bagi hasil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan, pemerintah pusat diberi porsi yang lebih besar daripada daerah.
Ada tiga alasan yang mempengaruhi daerah tidak diberi ruang kemandirian di bidang hubungan keuangan. Pertama, pilihan bentuk negara kesatuan. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, frasa negara “dibagi atas” daerah provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan bahwa pemerintah pusat tetap memegang kontrol penuh atas pelaksanaan pemerintahan daerah, meskipun dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Kedua, dalam hal keuangan, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial, makna “dikuasai negara” dalam Pasal 33 pada prinsipnya memberikan peran lebih besar kepada pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Ketiga, alasan kapasitas kelembagaan daerah dan sumber daya manusia. Tanpa disadari, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya masih memperlihatkan kondisi yang variatif dan bahkan ketimpangan di setiap daerah. Belum lagi berbicara soal kondisi daerah kepulauan dan perbatasan, yang memang belum tentu siap beradaptasi dengan cepat, sehingga pemerintah pusat tetap diberi kewenangan untuk mengatur dan mengevaluasi perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui pembentukan undang-undang.
Hasil penelitian saya memperlihatkan bahwa konsepsi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang berkeadilan terbagi atas dua pola. Pola pertama ialah hubungan keuangan pusat dan daerah yang bersifat proporsional dan tidak seimbang vertikal. Pola kedua ialah hubungan keuangan antar-daerah yang bersifat proporsional seimbang atau merata. Pola pertama memperlihatkan bahwa dalam pandangan originalis (pelaku perubahan konstitusi), hubungan keuangan pusat dan daerah selalu didesain dalam bentuk yang proporsional tapi tidak seimbang dalam arti hubungan keuangan pemerintah daerah akan tetap menciptakan pola ketergantungan pada dana perimbangan. Pola kedua memperlihatkan bahwa pemerintah pusat dan daerah berkewajiban menciptakan pola hubungan keuangan yang proporsional seimbang antar-daerah.
Asimetris Bersyarat
Sungguhpun pola hubungan keuangan pusat dan daerah menciptakan pola yang tidak seimbang (imbalance), bukan berarti kebijakan pemerintah pusat harus diterima begitu saja. Pusat juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah terjadinya ketimpangan fiskal antar-daerah. Tegasnya, Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tentu tidak dapat dijustifikasi sebagai produk yang tak lekang oleh waktu. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah diubah berulang kali dan tidak adil jika pola perimbangan keuangannya tetap sama. Desentralisasi fiskal secara asimetris laik dipertimbangkan sebagai alternatif pengaturan dalam rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (RUUHKPD).
Selama ini istilah “asimetris” terlalu sering diidentikkan dengan pemberian otonomi khusus dan status daerah istimewa. Padahal, pola perimbangan keuangan secara asimetris bisa saja diterapkan dalam RUUHKPD. Dana transfer, baik berupa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, maupun dana bagi hasil, bisa diatur secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di masing-masing daerah.
Dalam konteks Indonesia, ada reward dan punishment yang seharusnya bisa diatur dalam RUU HKPD. Pemerintah pusat dapat merumuskan kriteria normatif atas pemberlakuan desentralisasi fiskal secara asimetris secara bertahap. Misalnya, reward berupa dana transfer bisa diberikan kepada daerah-daerah yang secara kelembagaan tata kelolanya akuntabel, indeks persepsi korupsinya rendah, dan kemampuan meningkatkan pendapatan asli daerahnya baik. Dan, sebaliknya, seharusnya ada punishment bagi daerah yang performa kelembagaannya buruk sehingga tingkat kemandiriannya juga perlu dibatasi.
Karena itu, indikator keberhasilan otonomi daerah itu penting, tidak hanya berdampak pada pembagian urusan, tapi juga berimplikasi pada pola perimbangan keuangan yang adil. Ini akan sesuai dengan tujuan besar otonomi daerah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo