Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Krisis Etik Komisioner KPK

Sanksi Dewan Pengawas KPK kepada Lili Pintauli Siregar tak diikuti permintaan pengunduran diri. Memperburuk citra komisi antirasuah.

3 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi kepada komisioner Lili Pintauli Siregar.

  • Hukuman potong gaji tidak akan menimbulkan efek jera kepada Lili.

  • Lili sebenarnya bisa diminta mengundurkan diri dari jabatannya.

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu per satu isi kotak pandora di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai bermunculan. Baru-baru ini komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, dijatuhi sanksi berat karena terbukti melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK. Dalam putusannya, Dewan menyebutkan bahwa Lili memanfaatkan jabatannya sebagai komisioner KPK untuk membantu keluarganya dan juga menjalin komunikasi dengan pihak yang sedang beperkara di lembaga antirasuah itu. Perbuatan memalukan Lili ini tentu semakin melunturkan nilai-nilai integritas yang selama ini tumbuh dan berkembang di KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelanggaran etik oleh komisioner KPK ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada 2020, Firli Bahuri juga sempat tersandung persoalan serupa. Kala itu, perwira tinggi Kepolisian RI tersebut menggunakan helikopter mewah. Lima komisioner juga tersangkut persoalan serius, yakni maladministrasi dan pelanggaran hak asasi manusia saat menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK. Atas dasar ini saja, masyarakat dengan mudah menilai bahwa era kepemimpinan Firli merupakan yang terburuk sepanjang sejarah KPK.

Sanksi berat yang dijatuhkan kepada Lili ternyata tidak diikuti dengan hukuman setimpal. Bayangkan saja, perbuatan lancung seperti itu hanya dikenai pengurangan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan. Jangan bayangkan penghasilan Lili bakal dikurangi puluhan juta rupiah. Faktanya, gajinya hanya berkurang Rp 1,8 juta setiap bulan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan Pimpinan KPK, setelah dijatuhi sanksi berat, Lili masih menerima penghasilan sebesar Rp 107 juta setiap bulan. Maka, hukuman Dewan Pengawas sebenarnya tidak akan menimbulkan efek jera bagi Lili.

Regulasi tentang penegakan kode etik sebenarnya masih menyisakan satu jenis hukuman lagi bagi komisioner KPK yang dijatuhi sanksi berat, yakni permintaan agar mengundurkan diri dari jabatannya. Sayangnya, Dewan Pengawas malah mengabaikan ketentuan itu. Padahal ada sejumlah argumentasi yang bisa menguatkan untuk tiba pada hukuman tersebut.

Pertama, tindakan Lili tidak hanya menyangkut ranah etik semata, tapi juga bersinggungan dengan pidana. Hal itu diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 36 Undang-Undang KPK, yang menyebutkan larangan bagi komisioner untuk mengadakan hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan pihak yang sedang beperkara di KPK. Pasal ini juga mencantumkan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun bagi komisioner yang melanggar. Artinya, tindakan semacam ini merupakan pelanggaran serius dan berdampak langsung terhadap citra kelembagaan KPK.

Kedua, selama persidangan etik digelar oleh Dewan Pengawas, Lili diketahui tidak menyesali perbuatannya. Dari sikap tersebut, masyarakat dapat menakar betapa rendahnya standar integritas yang dimiliki komisioner KPK saat ini. Jika dicermati lebih lanjut, komunikasi antara Lili dan mantan Wali Kota Tanjung Balai, Syahrial, memiliki sejumlah masalah. Misalnya, Lili menyebarkan informasi perkara yang tergolong rahasia kepada pihak luar. Dia juga turut membantu mengatasi perkara korupsi jual-beli jabatan yang diduga melibatkan Syahrial dengan cara merekomendasikan seorang pengacara.

Ketiga, Lili terbukti bohong ketika membantah pernah berkomunikasi dengan pihak beperkara sebagaimana ia sampaikan pada akhir April lalu. Hal ini jelas melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK, yang menyebutkan bahwa komisioner wajib berperilaku dan bertindak jujur dalam melaksanakan tugas sesuai dengan fakta dan kebenaran. Kebohongan Lili semakin menunjukkan bahwa ia memang tidak layak menduduki jabatan komisioner KPK.

Keempat, kepercayaan masyarakat akan semakin tergerus akibat ulah Lili tersebut. Sepanjang kepemimpinan komisioner baru, masyarakat semakin enggan untuk menaruh harapan tinggi pada KPK. Fenomena ini wajar, mengingat beberapa waktu ke belakang KPK tidak pernah menunjukkan prestasi sebagaimana lazim terlihat di era kepemimpinan sebelumnya. Yang tampak sekarang adalah kualitas penanganan perkara yang buruk, sesat pikir kebijakan pencegahan korupsi, surplus gimmick politik, hingga rentetan pelanggaran etik. Seharusnya hal ini turut menjadi pertimbangan Dewan Pengawas untuk mendesak agar Lili hengkang dari KPK.

Terlepas dari rendahnya putusan Dewan Pengawas, rasanya penting juga untuk mengulas regulasi etik yang ada di KPK. Kalau dilihat lebih lanjut, sanksi yang dibuat oleh Dewan memang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Pasal 10 ayat (5) huruf c Peraturan Dewan Pengawas menyebutkan bahwa pegawai yang dijatuhi sanksi berat dapat diberhentikan tidak dengan hormat. Namun, untuk komisioner, Dewan Pengawas hanya bisa merekomendasikan untuk mengundurkan diri. Lantas, bagaimana jika komisioner menolak ketika diminta Dewan mengundurkan diri?

Di tengah buruknya substansi regulasi KPK baru, terdapat satu klausul penting yang menyangkut komisioner KPK, yakni Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang KPK baru. Ketentuan itu menyebutkan, komisioner dapat diberhentikan karena melakukan perbuatan tercela berdasarkan keputusan presiden. Dengan aturan ini, Dewan Pengawas harus merevisi sanksi berat untuk komisioner dengan merekomendasikan kepada presiden agar segera memberhentikan komisioner tersebut. Sebab, jika tidak, ketentuan perbuatan tercela itu akan bersifat multitafsir.

Setelah penjatuhan sanksi kepada Lili, Dewan Pengawas juga harus segera bergegas melakukan beberapa tindakan. Misalnya, fakta-fakta yang muncul dalam proses persidangan etik harus diserahkan ke Kedeputian Penindakan KPK. Hal ini penting untuk menelusuri potensi tindak pidana suap di balik komunikasi Lili dengan pihak yang sedang beperkara di KPK. Penyelidikan ini juga untuk membuka potensi keterlibatan Lili dalam perkara-perkara lain. Kemudian, atas dasar fakta komunikasi Lili dengan Syahrial, Dewan harus melaporkan kejadian itu ke kepolisian atas sangkaan melanggar Pasal 65 dan Pasal 36 Undang-Undang KPK. Ini bukan sesuatu yang baru. Pada 2009, KPK pernah melaporkan Antasari Azhar ke Polda Metro Jaya. Kala itu, Antasari diduga melakukan pertemuan dengan Anggoro Widjojo, Direktur Utama PT Masaro Radiokom, di Singapura.

Dengan berbagai masalah ini, Lili memang selayaknya mundur dari KPK. Selain soal kepantasan dan kemanfaatan, hal ini menyangkut masa depan pemberantasan korupsi. Orang-orang seperti Lili dan Firli hanya akan menjadi benalu yang merugikan kredibilitas KPK.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus