Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERUS berulangnya kekerasan seksual di pesantren menunjukkan ada masalah fundamental di sebagian lembaga pendidikan tersebut. Pesantren yang berkasus umumnya tertutup sehingga minim pengawasan. Karena itu, Kementerian Agama harus membuat aturan yang mengubah pesantren menjadi institusi terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terungkapnya kekerasan seksual terhadap 11 santri perempuan di Pondok Pesantren Istana Yatim Riyadhul Jannah, Kota Depok, semakin menambah urgensi aturan tersebut. Kejahatan yang melibatkan empat guru dan seorang santri senior itu baru terungkap setelah pemerkosaan dan pencabulan terjadi dalam setahun terakhir. Salah satu sebabnya, korban yang mengadu ke pengasuh pondok dilarang melapor kepada orang tuanya ataupun pihak lain.
Kejadian tersebut berlarat-larat, antara lain, karena tertutupnya pesantren dari pengawasan masyarakat dan lembaga independen. Tak ada kontrol sosial. Pengawasan oleh pemerintah pun lemah. Hal yang sama terjadi pada kasus pemerkosaan oleh Herry Wirawan, pemilik Pesantren Manarul Huda di Bandung, terhadap belasan santri perempuannya.
Kejahatan seksual juga pernah terungkap di pesantren dan asrama tertutup lainnya. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, kejahatan seksual di pesantren menjadi yang terbanyak kedua setelah kampus pada 2015-2020. Pelaku kekerasan seksual yang paling banyak adalah guru, disusul dosen, lalu kepala sekolah. Korban perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki.
Bila pesantren menjadi institusi terbuka, kemungkinan terjadinya kejahatan tersebut lebih kecil. Dengan lebih banyak mata yang mengawasi, hal-hal buruk yang kerap terjadi di lembaga pendidikan tertutup bisa berkurang. Bukan hanya kekerasan seksual, masalah seperti pengajaran paham kekerasan ataupun terorisme bisa segera tertangani.
Kementerian Agama perlu segera menerbitkan regulasi khusus untuk mencegah kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Akhir tahun lalu, saat Herry Wirawan, pemerkosa santri di Bandung, akan disidangkan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memerintahkan penyusunan regulasi tersebut. Tapi sampai terkuaknya kasus di Pesantren Istana Yatim Riyadhul Jannah, Depok, peraturan yang dijanjikan belum juga terbit.
Jika kesulitan merumuskan aturan baru, Menteri Yaqut sebenarnya bisa menyontek Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Regulasi tersebut mengatur pendekatan, pencegahan, dan penanganan kekerasan seksual dengan mengutamakan kepentingan korban. Toh, pola kekerasan seksualnya serupa: kuatnya relasi kuasa antara pengajar dan peserta didik.
Dasar hukum untuk merumuskan regulasi anti kekerasan seksual di pesantren semakin kuat setelah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bukan hanya pemerkosaan, sejumlah perbuatan yang dulu tak termasuk kekerasan seksual sekarang dikategorikan sebagai tindak pidana.
Lebih penting dari deretan pasal di atas kertas, penegakan hukum harus tegas dan tak pandang bulu. Jangan sampai aparat penegak hukum tak berdaya seperti dalam kasus pemerkosaan santri yang disangkakan terhadap anak pemimpin pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo