Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Akar Kekerasan terhadap Anak di Keluarga dan Sekolah

Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN, mengurai akar masalah munculnya kekerasan terhadap anak di institusi keluarga dan pendidikan.

29 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Institusi keluarga dan sekolah kini malah menjadi lokus kekerasan kepada anak.

  • Muncul ketidakpercayaan terhadap institusi keluarga dan pendidikan.

  • Mengapa hal ini bisa terjadi?

Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuknya merupakan tindakan kejahatan yang menihilkan kemanusiaan. Tindakan tersebut mencederai hati nurani dan tidak bisa ditoleransi. Hal yang sangat bermasalah adalah arena tempat kekerasan tersebut terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita tentu tidak bisa membayangkan rumah dan lembaga pendidikan, arena-arena yang seharusnya menjadi lokus tempat anak-anak diayomi, justru menjadi lokus di mana kekerasan terjadi. Orang tua, yang seharusnya mendidik dan memberi kasih, ternyata menjadi aktor utama pelaku kekerasan. Demikian juga dengan guru, yang seharusnya digugu dan ditiru. Tentu saja kita tidak bisa menggeneralisasi temuan tersebut, tapi menjadi penting untuk meningkatkan kontrol sosial terhadap situasi yang terjadi saat ini.

Kekhawatiran adanya ketidakpercayaan terhadap institusi keluarga dan pendidikan kembali mengemuka. Sebab, dua lokus yang seharusnya menjadi sentral penyebaran nilai-nilai kebajikan dan keluhuran itu kini mengalami guncangan. Patut kita pertanyakan kembali, siapkah institusi keluarga dan pendidikan untuk mendidik anak-anak? Bagaimana membuat situasi nihil kekerasan di dua institusi tersebut?

Tugas Mendidik

Tugas mendidik anak-anak secara fungsional memang sangat dibebankan kepada keluarga dan lembaga pendidikan. Secara sosiologis, dalam perspektif teori sosial-fungsional, misalnya, keluarga dibebani banyak tugas vital dan disebut sebagai tulang punggung masyarakat. Di antara fungsi keluarga adalah sebagai arena sosialisasi, pengaturan aktivitas seksual, penempatan sosial, serta keamanan material dan emosional (Macionis, 2011).

Keamanan material dan emosional ini yang tampaknya tidak berjalan seindah yang diinginkan. Macionis (2011) menyampaikan bahwa banyak orang yang memandang keluarga sebagai tempat perlindungan fisik, dukungan emosional, dan bantuan finansial. Apa yang diusung oleh teori sosial-fungsional terbantahkan oleh situasi saat ini, ketika arena yang tidak aman, pada beberapa kasus, justru ada di ruang keluarga.

Menilik hal tersebut, pendekatan struktural-fungsional tidak cukup untuk membaca kondisi keluarga. Karena itulah pendekatan konflik-sosial menjadi penting. Alih-alih berfokus pada hal yang menguntungkan masyarakat, perspektif konflik-sosial memberi sudut pandang lain, yaitu betapa keluarga juga dapat melanggengkan ketidaksetaraan sosial. Selain itu, pendekatan simbolik-interaksionis menjadi sangat penting, yaitu bagaimana realitas keluarga dibangun oleh anggota di dalam interaksi keseharian (Macionis, 2011).

Dalam situasi mutakhir, pada level yang sangat personal, kesiapan untuk memulai pernikahan semakin penting. Jika memposisikan keluarga sebagai tempat perlindungan fisik, dukungan emosional, dan finansial, di level personal, siapa pun yang akan memulai kehidupan berkeluarga (menikah) harus siap bertanggung jawab. Soal kerja sama untuk mengelola rumah tangga, tanggung jawab ekonomi, dan membesarkan anak, misalnya, perlu mendapat perhatian. Namun kondisi di masyarakat tidak semudah yang diidealkan.

Macionis (2011) menyebutkan sering kali anak-anak muda terjebak pada fantasi cinta romantik. Cinta romantik yang menjadi fondasi tersebut ternyata kurang stabil. Gambaran ideal pernikahan yang bahagia selamanya (happily ever after) juga sering kali menimbulkan kekecewaan. Di sisi lain, memiliki anak membutuhkan komitmen seumur hidup dan berbiaya mahal untuk mengasuh serta membesarkan sang anak. Dalam konteks Indonesia, kita juga masih sering mendengar kampanye menikah muda dan menjadikan pernikahan sebagai jalan keluar segala persoalan. Padahal ajakan tersebut tidak relevan untuk semua kalangan. Ada situasi problematis dan kompleks yang menanti di dalam pernikahan bila tidak disiapkan secara memadai.

Ketidaksiapan

Ketidaksiapan dalam membangun kehidupan keluarga ini berdampak pada pola pengasuhan anak. Jika belum siap dengan diri sendiri, bagaimana mereka dapat merawat anak dan mendidiknya dengan baik? Apalagi jika ditambah dengan keruwetan dalam kehidupan ekonomi. Aspek sosial-ekonomi menjadi faktor penekan terjadinya eskalasi kekerasan dalam rumah tangga.

Belum selesai dengan masalah di ranah keluarga, kita juga menyaksikan berbagai kekisruhan di ranah institusi pendidikan. Terjadinya kekerasan, seperti perundungan, kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan jenis kekerasan lainnya, tidak mudah diredam. Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan serta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sudah dirilis. Namun, lagi-lagi, yang menjadi tantangan adalah bagaimana dua aturan ini dapat terinternalisasi dan diterapkan dalam kehidupan keseharian.

Jika kita membuat daftar, hampir setiap tahun kasus kekerasan dengan ragam variannya terjadi, baik di ranah keluarga maupun dunia pendidikan. Beberapa kasus hanya berakhir dengan penyelesaian kekeluargaan. Situasi ini tidak berpihak kepada korban. Betapa korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Bayangkan, sosok-sosok yang harus mencintai mereka sepenuh hati, sosok panutan, justru menjadi pelaku kekerasan. Mereka diminta memberi maaf secara tulus, tapi pelaku bisa melenggang dengan aman sentosa. Sungguh hal yang tidak adil.

Dalam konteks perundungan, misalnya, Chris Lee (2004) menyampaikan empat hal yang harus diantisipasi oleh orang tua dan guru untuk mengidentifikasi adanya gejala tersebut. Pertama, jumlah ketidakhadiran siswa menurun. Siswa tiba-tiba membolos, tidak mau pergi ke sekolah dengan berbagai  alasan. Kedua, ada persoalan saat mereka berangkat dan pulang sekolah. Misalnya, siswa tiba-tiba minta diantar ke sekolah, mengubah rute berangkat ke sekolah, atau ada kerusakan pada pakaian serta luka atau memar di tubuh tanpa penjelasan memadai. Ketiga, adanya masalah dalam prestasi anak atau mereka mulai bertindak secara agresif. Empat, terjadi perubahan kebiasaan atau perilaku. Misalnya, anak-anak menjadi mudah emosi dan agresif, menarik diri, tertekan, cemas, kurang percaya diri, sering menangis, ataupun mengalami mimpi buruk.

Jika kondisi tersebut terjadi, tentu itu harus menjadi lonceng tanda bahaya bagi guru dan orang tua. Sayangnya, kerap kali kita tidak memperhatikan dengan saksama anak-anak kita karena ragam kesibukan yang menyita waktu. Perlindungan dari keluarga, komunitas, dan negara menjadi bagian penting bagi tumbuh-kembang anak karena ancaman kekerasan terhadap anak-anak sangat berbahaya bagi pertumbuhan fisik dan mental mereka. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus