Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Es Teh Lemon

Sekarang urusan bahasa Inggris tidak hanya tampil dalam perbincangan berkelas dan bertaraf internasional. Bahasa Inggris menjadi bahasa kota dan bahasa orang desa sekaligus.

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Orang Indonesia kini kian akrab dengan bahasa Inggris.

  • Nama-nama menu justru jadi asing ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

  • Baik atau burukkah gejala ini?

SEORANG pramusaji di restoran masakan Korea memastikan lagi apa yang saya pesan: “Ais lemon ti?” karena saya memesan “es teh lemon”. Di daftar menu, minuman ini ditulis “ice lemon tea”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Percakapan dengan pramusaji di restoran Korea ini mengingatkan saya pada pengalaman André Möller yang ia tulis dalam artikel “Cukup” di buku Ajaib, Istimewa, Kacau: Bahasa Indonesia dari A sampai Z (2019). André adalah penggarap kamus Indonesia-Swedia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiap kali ia memesan kopi es, pramusaji di kafe tak menangkap maksudnya. “Saya ulangi lagi. Dan ulangi lagi. Akhirnya air mukanya menyala seolah mendapat ilham: ‘Oh, ice coffee, Pak?’ Lha, ya, kopi es.”

Bahasa Inggris sepertinya jarang membuat panik. Sebaliknya, di tengah publik penutur Tanah Air, bahasa Indonesia justru sering menerbitkan rasa gugup, malu, kuno, dan bersalah. Mungkin karena bahasa Inggris kini ada di mana-mana: slogan iklan, daftar menu, nama tempat makan, pesan pendek, komentar di media sosial, atau sapaan.

Ingat tempat makan “Mangkok Ku” di Jakarta yang dikelola anak-anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, bersama Chef Arnold (bukan koki atau juru masak). Koran Tempo edisi 6-7 Juli 2019 menyajikan liputan dan mewartakan menu restoran itu, di antaranya Mangkok Brisket Onion Sauce with Onsen Egg, Mangkok Crispy Chicken, Mangkok Omu Egg Sausage Mayo, dan Mangkok Ox-Tongue Dabu.

Untuk olahan sederhana dari nasi, telur, ayam, dan daging, nama menu di Mangkok Ku benar-benar terdengar tidak sederhana. Coba saja nekat memesan “Mangkok Ayam Renyah”, pasti dianggap tidak keren atau buta menu.

Menurut cendekiawan Soedjatmoko (1996), kemajuan dan pembangunan membutuhkan wadah informasi, yakni bahasa Indonesia. Masa 1970-an pernah memunculkan tantangan apakah bahasa Indonesia dan bahasa daerah mampu menjawab perubahan sosial dan pemekaran potensi manusianya. Saat itu, bahasa Indonesia masih perlu dialihkan “dari bahasa kota menjadi bahasa rakyat desa, sesuai dengan tingkat kecendekiaan dan orientasi kebudayaan daerah perdesaan”. Meski bahasa Indonesia telah memasuki wilayah-wilayah perdesaan lewat perantara sekolah, bahasa ibu tetap menjadi bahasa tutur siswa-siswa di luar sekolah.

Di masa pergerakan, bahasa Indonesia terbukti menggalang kekuatan antikolonialisme, menjadi bahasa politik, menjadi bahasa nasional untuk keperluan kehidupan bernegara, dan memperantarai pergaulan antarsuku. Bahasa Indonesia menempatkan para penuturnya dalam satu kelas yang setara. Namun, dalam penguasaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi, bahasa Indonesia masih kalah dibandingkan dengan dominasi bahasa Inggris.

Sekarang urusan bahasa Inggris tidak hanya tampil dalam perbincangan berkelas dan bertaraf internasional. Hal-hal receh keseharian yang bisa dengan mudah diperantarai bahasa Indonesia diambil alih oleh bahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi bahasa kota dan bahasa orang desa sekaligus.

Penutur yang memakmurkan tren berbahasa Inggris campur-campur membuat bahasa asing ini menjadi bahasa kota bahkan sebelum bahasa Indonesia berdaulat di negeri sendiri. Sejak belia, anak-anak terbingkai oleh pendidikan dan pergaulan. Mereka yang fasih berbahasa Inggris pun mendapat penghargaan lebih tinggi.

Penguasaan bahasa itulah yang kelak menentukan masa depan pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan generasi ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia dianggap sudah bisa dikuasai secara naluriah. Karena itu, barangkali, tak ada syarat pekerjaan yang mencantumkan “fasih bahasa Indonesia”, tapi lebih banyak “fasih bahasa Inggris”.

Penyanyi Anggun C. Sasmi, yang bermukim dan menjadi warga negara Prancis, justru bangga karena anaknya berbahasa Indonesia. Anggun membiasakan putrinya memakai bahasa Indonesia di rumah. Di negeri asing, Anggun merasa memiliki beban moral mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak. Kebanggaan kepada bahasa Indonesia menjadi “tekanan” karena kerinduan, kenangan, dan identitasnya sebagai orang yang lahir dan besar di Indonesia.

Bahasa Inggris mungkin penanda modernisasi. Kemodernan hari ini diukur dari kefasihan mengucapkan tea, chicken, egg, juice, coffee, seafood, rice, milk daripada teh, ayam, telur, sari buah, kopi, santapan laut, nasi, susu.

Apakah para penutur bahasa Indonesia sok asing ini tidak nasionalis? Menurut saya, ini hanya perkara menuntaskan hasrat menyantap, tidak perlu bawa-bawa nasionalisme!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Setyaningsih

Setyaningsih

ESAIS, PEKERJA BUKU DI PENERBIT BABON, BOYOLALI, JAWA TENGAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus