Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimpi pemerintah membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi kota hutan cerdas masa depan muskil terwujud. Alih-alih mempertahankan hutan yang seharusnya menjadi jantung utama konsep kota berkelanjutan, pemerintah telah membabat lebih dari 2.400 hektare tutupan hutan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Deforestasi itu seukuran Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, atau sekitar 37 persen total kawasan inti seluas 6.671 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataan di lapangan itu, seperti terpotret pada citra satelit yang dirilis Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) baru-baru ini, bertolak belakang dengan gembar-gembor pemerintah. Otorita IKN (OIKN) selalu mendengungkan: Nusantara yang berkonsep future smart forest city merupakan yang pertama di dunia. Otorita mengklaim hanya 38,72 persen wilayah kawasan inti pusat pemerintahan yang tersentuh pembangunan. Sisanya adalah kawasan lindung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya, klaim Otorita IKN itu tidak seindah realitas di lapangan. Sejak awal, kawasan calon ibu kota baru ini sudah terbebani masalah izin dan hak atas tanah. Dari total IKN seluas 252,6 ribu hektare itu terdapat 57,3 ribu hektare konsesi hutan tanaman industri (HTI), 16 ribu hektare kebun kelapa sawit, dan 10,6 ribu hektare lubang tambang. Hutan alam yang tersisa hanya 32,4 ribu hektare dan tidak sejengkal pun berada di wilayah KIPP.
Tutupan jenis HTI mendominasi wilayah KIPP. Tutupan lahan lainnya adalah perkebunan sawit, belukar, pertanian campuran, dan permukiman. Berdasarkan pengamatan Greenpeace Indonesia, ada perusahaan HTI yang terus membabat hutan untuk memanen kayu eukaliptus dan akasia, walaupun pemerintah sudah memasukkan wilayah konsesi perusahaan itu sebagai kawasan ibu kota.
Ihwal konsesi dan hak atas tanah di IKN juga kian gelap setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di IKN. Dengan aturan ini, Otorita IKN berwenang dalam hal pengadaan lahan, penetapan lokasi, memberikan hak pakai, dan hak pengelolaan lahan. Otorita bisa memperpanjang dan memperbarui serta mengalihkan hak atas tanah, termasuk membelinya.
Otorita IKN boleh-boleh saja mengklaim Nusantara sebagai ibu kota hutan pertama di dunia asalkan menerapkan konsep smart forest city itu dengan sesungguhnya. Konsep ini harus menganut prinsip utama, yakni manusia dan infrastruktur kota hanyalah elemen dari ekosistem hutan. Jadi kepentingan hutan merupakan yang utama, bukan sebaliknya. Salah satu cara mengutamakan hutan adalah melestarikan rimba belantara, bukan dengan deforestasi lalu menanami kembali pohon di hutan kota, taman, dan jalur hijau.
Yayasan Auriga Nusantara pernah menghitung Otorita IKN dapat menambah luas hutan di Indonesia setidaknya 100 ribu hektare. Hal itu dapat terwujud jika izin ekstraksi baru dihentikan, termasuk tidak memperluas konsesi ekstraksi yang sudah ada. Langkah selanjutnya adalah memproteksi hutan alam yang tersisa dan tidak menebangi HTI sehingga tutupan hutan tetap lestari. Adapun tutupan kelapa sawit dikonversi secara bertahap menjadi vegetasi berkayu. Yang juga perlu diperhatikan adalah merehabilitasi lubang-lubang tambang.
Jika pemerintah dan Otorita IKN melakukan itu semua, masalah rusaknya daya dukung empat daerah aliran sungai (DAS) di wilayah inti IKN akibat deforestasi lebih mudah teratasi. Banjir besar yang merendam sebagian area kawasan inti IKN pada Maret 2023 membuktikan bahwa daya dukung DAS Pemalun, Sepaku, Semuntai, dan Trunen telah rusak. Selain degradasi hutan di hulu, banjir di IKN diperparah oleh kondisi pasang laut atau rob dari hilir.
Kalau di kota hutan sekelas Nusantara saja banjir masih terjadi, lalu apa bedanya dengan Jakarta? Presiden Joko Widodo selalu menyebutkan salah satu alasan pemindahan ibu kota adalah menghindari banjir Jakarta. Bila konsep future smart forest city sebatas slogan atau gimik belaka, jangan salahkan alam jika Nusantara hanya akan menjadi daerah langganan bencana hidrometeorologi yang baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo