Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengapa Panglima Mundur

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang prajurit wajib setia pada atasan. Bila merasa atasannya keliru, ia harus menyampaikan usulan koreksi. Jika usulannya tak diterima, hanya ada dua pilihan: menjalankan perintah atasan sebaik mungkin atau mengajukan pengunduran diri. Ini prinsip umum yang berlaku di dunia militer yang profesional. Prinsip yang dijalankan dengan teguh oleh seorang jenderal bernama Colin Powell di Amerika Serikat dan terakhir ini dilakukan oleh Jenderal Endriartono Sutarto, yang mengajukan pengunduran dirinya sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia.

Jenderal Sutarto, yang dibesarkan dalam keluarga militer dan ayahnya pensiun sebagai perwira tinggi TNI-AD, memang dikenal sebagai perwira yang berjiwa kesatria. Ketika masih berpangkat letnan kolonel pun ia dikabarkan pernah mengajukan pengunduran diri karena merasa para seniornya tak menjalankan prinsip perwira seperti seharusnya. Setelah itu, dalam berbagai jabatan yang lebih senior, ia tetap bersikeras lebih baik mundur ketimbang melaksanakan perintah yang dianggapnya keliru. Namun, kepribadiannya yang lurus itu justru mengangkatnya menjadi pucuk pimpinan TNI yang disegani di saat institusi ini mengalami badai reformasi. Bahkan, justru ketika masa jabatan puncaknya akan berakhir, Jenderal Sutarto akhirnya benar-benar mengajukan permohonan mengundurkan diri kepada atasannya.

Menurut kalangan dekatnya, Jenderal Sutarto menilai beberapa keputusan pemerintah, terutama menjelang perubahan pemerintahan, terasa kurang elok. Perasaan yang sebenarnya juga timbul di kalangan orang ramai. Pembuatan keputusan presiden tentang penentuan batas maksimum uang rumah Rp 20 miliar bagi mantan kepala negara dan wakilnya, pemberian pangkat kehormatan dan rencana promosi serta mutasi sejumlah pejabat, dan penanganan pengunduran Jenderal Sutarto dengan langsung mengajukan pencalonan Panglima TNI baru ke DPR adalah contoh-contoh yang mencolok mata. Sulit dihilangkan munculnya kesan banyak pejabat tinggi pemerintah Megawati telah menggunakan prinsip aji mumpung di akhir masa tugas mereka.

Berbagai kebijakan yang meruapkan bau tak sedap ini telah mencemarkan prestasi luar biasa yang diraih pemerintah Megawati: melaksanakan tiga putaran kegiatan pemilihan umum yang damai dan berkualitas tinggi. Prestasi yang dipuji tak hanya di dalam negeri, tapi juga di arena internasional. Boleh dikatakan pintu emas telah dibuka oleh masyarakat mancanegara kepada Presiden Megawati untuk dielu-elukan sebagai tokoh dunia yang telah sukses membawa lebih dari 200 juta warga Indonesia meniti jalur demokratisasi yang penuh dengan berbagai ancaman bencana.

Sayang sungguh sayang, peluang emas ini tampaknya akan dicampakkan. Utamanya karena asas kepatutan masa transisi yang berlaku di negara normal tak juga diterapkan. Dalam sopan-santun pergantian pemerintahan di negara demokratis, semua pejabat tinggi pemerintahan yang akan diganti tak akan mengambil keputusan non-rutin tanpa berkonsultasi dengan pimpinan pemerintahan baru yang akan dilantik. Bahkan, bila tak ada kebutuhan darurat, keputusan strategis seperti promosi, mutasi, dan penggunaan anggaran di luar rutin ditangguhkan.

Pelanggaran tata laksana masa transisi ini tak dapat disalahkan sepenuhnya pada Presiden Megawati. Para birokrat karier dan pejabat tinggi di sekeliling kepala negara jelas berkewajiban mengingatkan pucuk pimpinan mereka mengenai hal ini. Bahkan juga mengusulkan agar tim pemerintah baru segera diundang untuk melakukan koordinasi dalam pelaksanaan serah-terima yang lancar dan tertib. Di lain pihak, Susilo Bambang Yudhoyono juga perlu didorong agar segera mengirimkan tim transisinya untuk lebih proaktif menjumpai mitra masing-masing di pemerintahan saat ini. Rakyat telah memberi mandat kepadanya untuk memimpin pemerintahan sebaik mungkin. Karena itu, kepentingan publik hendaknya didahulukan ketimbang perasaan risi pribadi.

Setelah itu, rancangan undang-undang kepresidenan yang mengatur masa peralihan pemerintahan hendaknya segera dibuat dan diajukan ke DPR. Lebih dari seratus juta rakyat jelata telah terbukti mampu melaksanakan tugas demokrasi mereka dengan baik, damai, dan lancar. Kini giliran elite republik ini membuktikan bahwa mereka juga siap berdemokrasi secara beradab seperti masyarakat biasa.

Jenderal Sutarto telah menunjukkan keteladanan dan kita tinggal menapak-tilasinya saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus