Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINAMIKA menjelang pendaftaran calon presiden dan wakilnya menyingkap gejala penyakit kronis sejumlah partai politik. Hal yang paling mencolok adalah membebeknya partai-partai di kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi yang dipimpin Partai Gerindra itu akhirnya kompak mengusung Gibran, anak sulung Presiden Joko Widodo, untuk mendampingi Prabowo Subianto. Di samping Gerindra, koalisi itu beranggotakan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Gelora, Partai Prima, dan Partai Garda Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden menunjukkan betapa buruknya kaderisasi di lingkup internal partai politik. Di luar Gerindra yang mencalonkan Prabowo, partai anggota Koalisi Indonesia Maju gagal mengusung kadernya dalam pemilihan presiden 2024. Alih-alih mencalonkan ketua umum atau politikus senior dari partai masing-masing, Golkar, PAN, dan Demokrat malah "mengebon" Gibran, seorang “kader pemula” dari PDI Perjuangan.
Memang, Golkar sempat memberi mandat kepada Airlangga Hartarto untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. PAN juga sempat menggadang-gadang Erick Thohir sebagai bakal calon wakil presiden. Sebelum bergabung ke KIM, Demokrat pun ngotot mengusung Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon wakil presiden. Namun, di tikungan terakhir, partai-partai itu bertekuk lutut di depan Presiden Joko Widodo—yang jauh-jauh hari sudah menyatakan akan cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024.
Dalam paham politik yang mendewakan kekuasaan, masuk akal bila Jokowi tak mau kehilangan pengaruhnya setelah masa jabatan keduanya berakhir. Salah satu caranya adalah Jokowi dengan sekuat tenaga membuka jalan bagi Gibran untuk menjadi calon wakil presiden—satu langkah sebelum menggapai kursi presiden. Hal yang mengherankan, partai-partai hanya membebek atas agenda politik Jokowi. Partai seperti tutup mata atas manuver Jokowi yang oleh pelbagai kalangan dianggap tengah membangun dinasti politik.
Kecuali Partai Demokrat yang menjadi “oposisi tanggung” dalam satu dekade terakhir, partai besar anggota Koalisi Indonesia Maju lainnya merupakan barisan pendukung pemerintahan Jokowi. Mereka sekian lama ikut menikmati kue kekuasaan, antara lain melalui ketua umum atau politikus seniornya yang menjadi menteri di kabinet Jokowi. Selain terbiasa “membungkuk” di depan Jokowi, para pemimpin partai itu tentu tak mau kehilangan pelbagai “kenikmatan” sebagai imbalan atas loyalitasnya.
Selain itu, beberapa tokoh partai di Koalisi Indonesia Maju pernah atau sedang tersandera kasus korupsi yang pengusutannya digantung oleh penegak hukum. Jelas saja, mereka tak bakal berani menolak agenda politik Jokowi yang faktanya masih berkuasa. Salah-salah, mereka bisa diperlakukan seperti dua menteri dari Partai NasDem yang dengan mudah masuk bui karena kasus korupsi.
Di atas semua itu, para elite partai di Koalisi Indonesia Maju juga semakin terbuai oleh keyakinan bahwa Jokowi bakal menggunakan segenap pengaruhnya untuk memenangi pertarungan bila Gibran menjadi calon wakil presiden dari kubu mereka. Ini berbahaya. Partai-partai itu sama saja mendukung Jokowi untuk tidak netral dan menggunakan cara-cara culas dalam pemilihan presiden kali ini.
Sialnya, makin ke sini, gejala penyalahgunaan pengaruh itu makin nyata saja. Kita tahu bahwa jalan untuk Gibran terbuka setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi syarat minimal usia calon presiden dan wakilnya. Mahkamah Konstitusi membuat pengecualian syarat minimal usia 40 tahun, antara lain bagi mereka yang sedang atau pernah menjabat wali kota. Putusan itu jelas menguntungkan Gibran, Wali Kota Solo yang baru berusia 36 tahun. Hal yang mencurigakan, putusan sarat kejanggalan itu diketuk oleh Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adik ipar Jokowi, atau juga bisa disebut sebagai paman Gibran.
Partai politik semestinya sejak awal membendung manuver politik Jokowi untuk memaksakan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. Selain merugikan kader partai, manuver tersebut menyediakan sumbu letusan pada pemilihan presiden 2024. Bila terjadi kekecewaan atas hasil pemilu presiden, letusan itu akan sulit dicegah. Sebab, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi wasit yang netral telanjur kehilangan kepercayaan dari masyarakat. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo