Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak hakim melanggar etik dalam pengurusan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Mengapa hal itu cenderung terjadi belakangan ini?
Bagaimana mengembalikan integritas hakim di dunia peradilan?
Alvin Nicola
Peneliti Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanksi pemberhentian tidak hormat kepada Herberth Godliaf Uktolseja (HGU), mantan hakim Pengadilan Negeri Bondowoso, Jawa Timur, yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Hakim pada akhir Agustus lalu tidak cukup memberi efek jera. Aparat penegak hukum perlu mengusut tuntas unsur pidana korupsi dalam suap perkara kasasi ini. Jika tidak, integritas hakim akan terus menjadi masalah di dunia peradilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang putusan etik tersebut harus dijadikan pintu masuk membongkar praktik korupsi di lembaga peradilan. Hingga Juni lalu, Komisi Yudisial (KY) telah menerima 721 laporan masyarakat dan 643 surat tembusan mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jumlahnya meningkat sekitar 86,5 persen dari tahun sebelumnya. Badan Pengawasan Mahkamah Agung juga merekam situasi yang serupa, yakni 126 hukuman disiplin telah dijatuhkan selama Januari-Juli 2022.
Dari kasus-kasus itu, tren korupsi yang bermotif pengurusan perkara di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK) semakin marak. Sebelum Herberth, ada mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, yang terjerat kasus suap dan gratifikasi pengurusan perkara di lembaganya pada 2011-2016. Mantan Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Nasution, terjerat kasus suap pendaftaran perkara peninjauan kembali. Ada pula Andri Tristianto Saputra, eks Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Mahkamah Agung, yang diseret ke meja hijau dalam kasus suap penundaan salinan putusan kasasi. Aktor non-pengadilan juga tak mau ketinggalan, seperti eks jaksa Pinangki, terpidana kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung, dan Lucas, advokat yang pernah dihukum dalam pengurusan perkara kasasi sebelum divonis bebas oleh Mahkamah.
Kecenderungan itu setidaknya disebabkan oleh dua gejala utama. Pertama, semakin bergesernya bandul fungsi kasasi. Saat ini, MA seakan-akan ikut berperan sebagai pemeriksa fakta, yang sebenarnya menjadi wewenang pengadilan di bawahnya. Akibatnya, putusan di pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi kerap kali tidak konsisten, seperti dalam perkara yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta putusan lepas kasasi dalam perkara Syafruddin Arsyad Tumenggung, yang pada gilirannya menjadi celah korupsi baru.
Implikasinya, pengajuan perkara korupsi di pengadilan tingkat kasasi semakin deras karena para pihak masih berharap ada perubahan keputusan. Dalam perkara tindak pidana korupsi, misalnya, tren upaya kasasi meningkat, dari 495 perkara pada 2020 menjadi 524 perkara pada 2021. Sementara itu, pengajuan PK oleh narapidana kasus korupsi ke MA pada 2019-2020 juga naik tujuh kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Situasi yang lebih mengkhawatirkan lagi, pengajuan PK belakangan ini dilakukan setelah adanya putusan pengadilan tingkat pertama.
Di samping itu, ketertutupan proses persidangan di MA juga patut menjadi perhatian. Selama ini, pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding cukup terbuka melalui e-Court. Sedangkan proses pengadilan di MA praktis tertutup, termasuk judicial review. Padahal keterbukaan tentu menjadi prasyarat mutlak tercapainya lembaga peradilan pasca-reformasi yang independen, berkualitas, adil, dan modern. Pergeseran ini juga akan membawa ekses bagi langgengnya disparitas pemidanaan.
Kedua, pengawasan internal dan eksternal masih menyisakan banyak celah. Dari sisi internal, Badan Pengawas memiliki jangkauan yang sangat pendek. Padahal, badan ini mengawasi ribuan hakim dan aparatur pengadilan di 917 satuan kerja di seluruh Indonesia. Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya sayangnya juga tak memberi ruang bagi checks and balances antar-sesama pegawai pengadilan. Kehadiran instrumen pengawasan melalui aplikasi Wastitama juga tak dapat berbicara banyak karena besarnya diskresi ketua pengadilan, sehingga hampir sulit dilakukan pengawasan melekat dan evaluasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, MA sebenarnya telah cukup progresif menghadirkan sejumlah instrumen pencegahan korupsi dan kode etik. Adanya Peraturan MAS Nomor 9 Tahun 2016 tentang Whistleblowing System, Keputusan Sekretaris MA soal penanganan benturan kepentingan dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas tentang pelaksanaan Sistem Manajemen Anti-Penyuapan (SMAP) serta pengendalian gratifikasi merupakan terobosan penting. Pada 2020, MA juga telah mengeluarkan larangan pungutan untuk pelantikan dan pembiayaan kegiatan dinas lainnya.
Sayangnya, pada saat yang bersamaan, konsistensi pengawasan eksternal melalui instrumen penegakan etik tidak optimal. Contohnya, sehari sebelum ditangkap KPK, mantan hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Itong Isnaeni Hidayat, telah dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik. Laporan ini bukanlah yang pertama kali diterima Komisi. Bahkan hakim Itong pernah direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi pada 2016. Kejadian yang sama terjadi pada eks hakim HGU, yang pernah dilaporkan ke KY. Hal ini menunjukkan banyak intervensi pencegahan korupsi yang telah dilakukan masih menyisakan risiko sisa (residual risks).
Karena itu, upaya pencegahan perlu lebih dari sekadar instrumen aturan. Kepemimpinan dan penegakan integritas pengadilan merupakan syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Sudah sepatutnya konsistensi pemidanaan diikuti pula dengan optimalisasi fungsi pengawasan. Senjata ini diharapkan dapat menjadi katrol utama yang akan menaikkan kepercayaan publik terhadap lembaga pengadilan.
Publik juga berharap MA bersama-sama dengan KY perlu bekerja lebih keras dalam menegakkan integritas hakim dan aparatur pengadilan lainnya. Kehadiran Tim Penghubung MA-KY saat ini punya peran yang sangat strategis tapi tetap perlu diperkuat unsur partisipasi masyarakatnya. Dorongan paling mendesak adalah terus membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya integritas peradilan dan perilaku hakim.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo