Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richo Andi Wibowo
Dosen Fakultas Hukum UGM dan Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian proyek infrastruktur besar dalam hampir satu dekade terakhir di bawah pemerintahan Presiden Jokowi diduga melanggar konsep legal quality decision making (pengambilan keputusan berkualitas hukum), seperti proyek IKN (ibu kota Nusantara) dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Implikasinya, proyek infrastruktur tersebut berpotensi digolongkan sebagai "white elephant projects". Ibarat orang yang memelihara gajah berwarna putih, kesannya wah, padahal keberadaannya berbiaya tinggi dan defisit manfaat sosial (Robinson and Torvik, 2005).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara konseptual, legal quality decision making mengamanatkan agar badan publik dan pengambil keputusan mencari keseimbangan atas empat komponen, yakni keabsahan hukum (lawfulness), efektivitas, efisiensi, dan legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan (Herweijer, 2007). Jika difokuskan pada keabsahan hukum, pelanggarannya bukan merujuk pada ketiadaan dasar hukum suatu proyek, melainkan menguji tudung landasan hukum (dismantling) dengan memeriksa apakah landasan tersebut memang secara substantif melindungi asas, teori, dan konsep hukum yang relevan.
Tampaknya landasan hukum yang lahir memang melanggar asas kehati-hatian (principle of carefulness). Beberapa parameter asas ini (Addink, 2019) tampak telah menyimpang. Misalnya, badan publik mengabaikan catatan kritis yang didasarkan pada kajian ilmiah, tidak memberikan kesempatan yang cukup kepada pihak yang terkena dampak untuk didengarkan kepentingannya, serta tidak mempertimbangkan dengan cermat fakta dan kepentingan pemangku kepentingan, baik untuk konteks masa kini maupun masa depan.
Buktinya, ada aneka proyek besar yang tiba-tiba dibikin padahal sebelumnya tidak pernah muncul dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Rencana memang bisa berjalan dinamis. Tapi kritik publik atas rencana yang mendadak timbul juga tidak pernah dijawab dengan baik, melainkan direspons dengan mengeluarkan regulasi dan keputusan formal semata, yang di belakang hari kembali bermasalah.
Lihatlah pembangunan IKN di Kalimantan atau kereta cepat Jakarta-Bandung. Aneka kritik serius dari masyarakat diabaikan. Pemerintah hanya menanggapinya dengan merevisi RPJMN dan mengeluarkan dasar hukum dengan partisipasi publik yang minim. Akibatnya, pembangunan dengan segenap regulasi dan keputusan itu semakin bermasalah.
Beberapa waktu lalu, pemerintah berencana merevisi Undang-Undang IKN. Padahal undang-undang tersebut baru disahkan pada awal tahun ini. Revisi ini ditengarai untuk memberikan hak guna bangunan yang tidak logis kepada investor (hingga 180 tahun) dan menggelontorkan pendanaan APBN untuk IKN.
Pertimbangan terakhir itu juga terjadi untuk proyek kereta cepat. Pemerintah memberikan suntikan dana melalui penyertaan modal negara kepada BUMN yang ditugasi menjalankan proyek ini. Padahal itu artinya pemerintah ingkar karena dulu memberi janji bahwa kedua proyek tersebut tidak akan membebani APBN.
Bukti lain dapat kita saksikan pada pembangunan Bandara Soedirman di Purbalingga dan Bandara Ngloram di Blora. Pembangunan keduanya juga tidak ada di RPJMN. Bahkan pembangunan keduanya dapat dianggap melanggar regulasi sektoral, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
Bandara Soedirman sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk dibangun karena lokasinya terlampau dekat—hanya 65 kilometer—dari Bandara Tanggul Wulung, Cilacap. Bandara Blora seharusnya juga tidak perlu dibangun karena tidak berpotensi bisa melayani 500 ribu penumpang per tahun.
Namun kedua bandara itu tetap dibangun. Mungkin saja keduanya memberikan kebanggaan bagi warga setempat. Tapi ini kebanggaan semu karena, beberapa bulan setelah diresmikan, bandara ini mati suri dan tak berfungsi. Artinya, masyarakat pembayar pajak rugi karena uang publik tidak dikelola dengan baik.
Tampaknya, aneka masalah di atas berkelindan dengan tingginya keinginan Presiden Jokowi untuk mengeksekusi secara cepat proyek infrastruktur. Mungkin saja hal ini didasari niat baik, tapi bisa pula didasarkan pada mekanisme pengambilan keputusan yang dipengaruhi gaya personal yang senang memutuskan, tapi enggan menganalisis dengan saksama (Bland, 2020).
Presiden dan jajarannya perlu mengindahkan konsep legal quality decision making di atas. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pembangunan infrastruktur era Presiden Jokowi berwajah bopeng: berbiaya tinggi, bernilai manfaat sosial rendah, bahkan menjadi beban ekonomi, sosial, dan ekologi bagi pemerintahan serta masyarakat di masa mendatang.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo