Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Salah Kaprah Memulihkan Ekonomi

Pemerintah mengalihkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk proyek infrastruktur. Salah kaprah menangani krisis.

10 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada peluang di balik rendahnya penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional.

  • Keputusan pemerintah mengalihkan dana PEN untuk proyek infrastruktur keliru.

  • Ada bahaya besar di tengah gejala pemulihan ekonomi.

RENDAHNYA penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN), bak pedang bermata dua. Kredibilitas pengelolaan fiskal berkurang lantaran belanja tak optimal mendorong ekonomi. Tapi belanja yang tak terserap memberi ruang bagi pemerintah menutup kebutuhan belanja lain yang lebih penting dan mendesak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Realisasi belanja PEN dalam APBN 2021 mengulang masalah tahun lalu. Per 5 November 2021, anggaran PEN 2021 baru terbelanjakan Rp 456,3 triliun atau 61,3 persen dari pagu Rp 744,7 triliun. Buruknya kinerja belanja PEN ini menjadi sentimen negatif dalam menggerakkan kembali roda ekonomi yang gembos tertusuk duri pandemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, pemerintah tak memanfaatkan peluang di balik persoalan tersebut. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 8 November 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pemerintah akan mengalihkan dana PEN senilai Rp 33 triliun untuk menambah penyertaan modal negara buat perusahaan pelat merah untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur.

Realokasi anggaran itu memang tak akan menambah besaran belanja negara, yang bisa memperlebar defisit dan membutuhkan tambalan utang baru. Pemerintah hanya memindahkan alokasi belanja dari satu program ke program lain. Tapi mengalihkan anggaran untuk proyek infrastruktur, apa pun alasannya, tak bisa dibenarkan. Keputusan ini hanya akan menutupi buruknya pengelolaan anggaran dengan menciptakan persoalan baru.

Pemerintah tak sepatutnya berpegang pada rumus lama, yakni anggapan bahwa belanja infrastruktur lebih efektif menopang ekonomi. Apalagi, di era Presiden Joko Widodo, proyek infrastruktur menjadi gincu pembangunan meninggalkan legasi kemajuan. Faktanya, proyek-proyek besar itu menyeret sejumlah perusahaan negara ke jurang krisis keuangan.

Asumsi bahwa pembangunan menjamin transaksi barang dan jasa terus berputar, penyerapan tenaga kerja tak berkurang, sehingga ekonomi bertumbuh, tak berlaku dalam siklus ekonomi hari ini. Bagi negara yang fiskalnya terbatas seperti Indonesia, belanja anggaran mesti efektif dan berkualitas. Tak hanya asal terserap habis, anggaran harus efektif menanggulangi bencana kesehatan dan krisis sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Pagebluk belum pasti kapan akan berakhir, meski persebaran wabah untuk sementara cenderung menurun sehingga ekonomi pun berangsur menggelinding. Tapi, bahkan ketika gejala pemulihan ekonomi itu mulai muncul, risiko yang sedang dihadapi dunia, juga Indonesia, masih amat besar. Lonjakan harga komoditas sudah cukup menjadi gambaran betapa pemulihan ekonomi berpotensi memantik inflasi gila-gilaan di masa mendatang.

Kenaikan harga pasti menjadi pukulan berat berikutnya bagi rumah tangga miskin dan rentan miskin yang jumlahnya meningkat akibat pandemi. Keliru dan lamban mengantisipasi potensi masalah ini bisa melahirkan malapetaka yang tak kalah dahsyat.

Itu sebabnya, pemerintah semestinya memprioritaskan penambahan alokasi dana program-program yang dapat langsung meningkatkan daya beli masyarakat, termasuk terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Hanya dengan begitu, ekonomi benar-benar selamat dan bangkit cepat tatkala pandemi berakhir.

Adapun proyek infrastruktur hanya akan menambah beban keuangan negara di tengah utang yang kian menggelembung. Semestinya, kebijakan realokasi anggaran PEN yang tak terserap dalam memulihkan ekonomi bukan untuk mengakomodasi kepentingan politik praktis untuk proyek infrastruktur yang tidak menyentuh langsung pemulihan krisis pandemi.

Apalagi jika realokasi itu untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah mengelola anggaran. Kebijakan seperti ini akan sama jahatnya dengan pejabat negara yang membuat kebijakan menangani pandemi, lalu menangguk untung dari sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus