Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pancasila sebuah ideologi yang memerlukan ideologi lain.
RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menunggangi Pancasila dengan totalisasi ganda.
APABILA suatu hari nanti dunia pulih dari pandemi dan tamasya sudah bisa dimulai lagi, cobalah Anda ke Kathmandu di Nepal. Dari Kathmandu, ada bus atau jip yang bisa Anda sewa, lalu pergilah ke sebuah kota bernama Lumbini. Lumbini adalah kota penziarahan yang dipercaya sebagai tempat lahirnya Buddha. Di sana ada sebuah kuil bernama Mayadevi yang di depannya terpasang prasasti ajaran moral kuno dari Sang Buddha: “Pancha Sila”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Buddhisme, Pancha Sila berisi lima larangan: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzina, jangan berbicara menyakiti, jangan merusak diri. Pancha Sila di Lumbini adalah tuntunan untuk orang-orang biasa, dirumuskan dalam kalimat perintah sederhana yang langsung mendorong ke perilaku orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pancasila kita juga berisi lima kalimat saja. Tapi ia bukan perintah bertindak dan berperilaku, melainkan prinsip-prinsip umum. Ia diajukan di dalam konteks pendirian negara, memberikan ciri bagi sebuah bangsa yang baru merdeka. Pancasila boleh jadi temuan asli bangsa Indonesia, tapi jangan bilang hal itu kepada orang-orang di Lumbini, karena mereka sudah mengenal Pancha Sila beberapa abad sebelum Masehi.
Pancasila sering disebut sebagai ideologi. Tapi, berbeda dengan komunisme, liberalisme, dan sosialisme, Pancasila adalah ideologi yang memerlukan ideologi-ideologi lain di dalamnya. Sukarno merumuskan Pancasila, tapi Sukarno masih merasa perlu untuk merumuskan lagi Marhanenisme sebagai semacam ideologi politiknya. Pancasila adalah asas atau prinsip kehidupan publik bersama yang memungkinkan tiap orang—dalam konteks kemajemukan politik—memiliki ideologi politik yang berbeda-beda. Itu sebabnya, setelah kemerdekaan dan era multipartai muncul di Indonesia, dalam Pancasila tumbuh partai-partai dengan ideologi-ideologi besar di dalamnya.
Dengan konstruksi semacam itu, Pancasila adalah diskursus ideologi yang memiliki makna dan aksentuasi ganda: pertama adalah posisi Pancasila sebagai ideologi, kedua adalah tafsir atau politisasi terhadap Pancasila sebagai ideologi. Dalam kenyataan, aksentuasi ideologi yang lebih kental sebenarnya tidak datang secara inheren dari Pancasila sendiri, melainkan justru dari determinasi oleh politisasi di luar dirinya.
Untuk memahami problem ganda ideologisasi ini, kita bisa belajar dari humor sederhana yang disampaikan Slavoj Žižek, seorang filsuf dari Slovenia, dalam bukunya yang baru: Pandemic!.
Suatu saat seseorang masuk ke sebuah kafe. Ia berteriak kepada pelayan, “Mas, pesan kopi hitam ya, enggak pakai krim.” Pelayan menjawab, “Di sini enggak ada kopi hitam yang enggak memakai krim. Adanya kopi hitam yang enggak pakai susu.” Kafe itu memiliki kopi hitam yang diinginkan si pembeli, tapi bagi si pelayan persoalan utama bukan terletak pada kopi hitamnya, melainkan pada krim atau susunya.
Hal serupa berlaku dalam diskursus Pancasila. Pancasila dibicarakan dalam diskursus politik, tapi yang sebenarnya disasar dan penting bukanlah Pancasila an sich, melainkan posisi atau relasi-relasi mereka yang membicarakannya. Sama seperti ungkapan “ideologi sudah mati”, yang utama di sini bukanlah kata ideologi, melainkan “posisi” orang yang menyatakan “ideologi sudah mati”, karena dengan itu ia sebenarnya secara implisit mengatakan bahwa satu-satunya yang berkuasa adalah ideologi status quo.
Ideologi dipahami bukan dari yang eksplisit, melainkan dari yang implisit. Soal ini secara kental terlihat dalam diskursus politik-ideologi di seputar Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dalam fase awal, semua fraksi politik bersedia dan ikut serta mendukung ide rancangan ini masuk ke program legislasi nasional. Kesediaan itu jelas bukan karena urgensi, tapi karena memang tidak mungkin menolak suatu inisiatif politik mengenai Pancasila. Penolakan bisa dibaca sebagai sikap anti-Pancasila. Namun, kini setelah RUU HIP muncul dan menerbitkan kritik, para proponen RUU ini menunda pembahasan bahkan mungkin membatalkannya. Setali tiga uang dengan oponen mereka, penundaan juga bukan terjadi karena persoalan substansi atau karena sadar akan nihilnya urgensi RUU di saat-saat sekarang ini, melainkan karena mereka khawatir akan dituduh pro-komunis oleh pihak yang kontra.
Akhirnya diskursus politik yang dihasilkan seputar debat RUU ini adalah diskursus politik yang itu-itu saja dan membawa kita mundur ke belakang. Ekspose ideologis yang ditampilkan dari perbedaan dan konflik di seputar RUU ini mengulang kembali diskursus ideologi politik lama. Ia meresonansikan lagi residu otoritarianisme, baik yang berasal dari Orde Lama maupun yang berasal dari Orde Baru.
Di sinilah, dalam tiap diskursus ideologi, yang tidak dikatakan selalu lebih penting dari yang hadir dan yang diucapkan. Contoh lain dari kondisi ini ada di dalam Pidato Presiden Joko Widodo dalam peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2020. Presiden menekankan bahwa Pancasila harus mendasari semua kebijakan pemerintah. Dalam kesempatan lain, Presiden menegaskan semua program pembangunannya memiliki rujukan dengan nilai-nilai Pancasila. Sayangnya, Presiden tidak menyebutkan apakah Undang-Undang Mineral dan Batu Bara serta RUU Cipta Kerja cukup mencerminkan Pancasila. Pancasila secara eksplisit selalu dibawa-bawa untuk memberi nilai pada semua hal, tapi secara implisit dengan itu ia sebenarnya justru sedang ditolak. Dalam sejarah kita belajar saat sesuatu dideklarasikan sebagai Pancasilais, saat itu pula yang muncul adalah kebalikannya.
Kata selalu menunggangi makna. Tapi kata tidak pernah sukses membuat makna jadi total. Selalu ada yang tercecer dan meleset dalam setiap praktik pemaknaan. Begitupun penaklukan dan determinasi Pancasila melalui politik: mulai Orde Lama hingga kini di era Jokowi melalui HIP.
Tarik-menarik dan politisasi yang tak habis-habis atas Pancasila ini pada akhirnya mempertegas posisi Pancasila sebagai floating signifier (penanda mengambang). Statusnya tetap, tapi pemaknaannya selalu bergeser sebagai akibat rekonstruksi oleh pelbagai kekuatan politik di luarnya. Orde Lama merekonstruksi Pancasila dalam kepentingan demokrasi terpimpin, Orde Baru merekonstruksi Pancasila dalam kepentingan politik pembangunan. Di era Reformasi, setelah rontok sebagai “pusat diri”, Pancasila dikonstruksi secara terbuka oleh pelbagai kekuatan politik yang ada.
RUU HIP merefleksikan upaya dan praktik totalisasi ganda: totalisasi pertama dilakukan melalui penyempitan Pancasila dalam satu haluan politik dengan maksud agar semua orang masuk ke sistem identifikasi yang dikehendakinya: budaya Pancasila, demokrasi Pancasila, Manusia Pancasila. Totalisasi kedua dilakukan dengan merumuskan makna dan interpretasi tunggal mengenai Pancasila.
Untungnya, dalam konteks demokrasi, fantasi totalisasi ini tampaknya tidak mungkin bisa dipenuhi. Sebagaimana kita saksikan dari pelbagai respons yang muncul, artikulasi untuk mentotalisasi pemaknaan Pancasila justru melahirkan tantangan dan resistansi. Hasilnya, bukan hegemoni dan integrasi yang terbentuk, melainkan fragmentasi. Totalisasi dan fragmentasi dalam diskursus Pancasila ini membawa kembali kepolitikan demokratis Indonesia mundur ke belakang.
Pertama-tama karena ia hanya mengangkat kembali debat-debat lama mengenai Pancasila yang semestinya sudah rampung. Kedua, diskursus yang muncul kehilangan konteks dan tidak menyentuh persoalan aktual yang sekarang sedang dihadapi generasi bangsa ini.
Sementara RUU itu berniat membentuk standar kebudayaan Pancasila, generasi baru kita sedang memikirkan kemungkinan episode baru dari drama-drama Korea dan para pejabat berlomba-lomba memikirkan kapan mal-mal boleh dibuka. Sementara para elite kita memperdebatkan RUU HIP, angka pasien positif Covid-19 di Indonesia terus naik. Dari segi jumlah pasien dan jumlah kematian, Indonesia lebih buruk bahkan dari negara-negara Asia Tenggara yang lebih miskin. Bagaimana mungkin sebuah negara Pancasila bisa kalah total oleh Vietnam yang komunis dan Singapura yang ultrakapitalis?
Eksploitasi yang berlebih-lebihan dan upaya membikin standardisasi Pancasila justru hanya akan membuat Pancasila meleset dari pemahaman. RUU HIP membayangkan adanya masyarakat Pancasilais, kebudayaan Pancasila, demokrasi Pancasila, bahkan manusia Pancasila. Pertanyaannya: apa ukuran sebuah kebudayaan adalah kebudayaan Pancasila? Apa ukuran dari seorang individu adalah manusia Pancasila? Bagaimana mengukurnya? Siapa yang punya otoritas demikian hebat untuk mengukur dan mengeksaminasi seseorang sebagai sesuai/tidak sesuai dengan Pancasila? Bukankah standardisasi serupa pernah dicoba oleh Orde Baru dan gagal? Sejarah Orde Baru memperlihatkan, makin keras standar dibuat, makin besar kemungkinan Pancasila meleset dari pemahaman. Mengapa? Karena dalam tiap standar orang tidak mengalami kesempatan untuk memahami Pancasila dalam otonomi, kebebasan, dan partisipasi.
Dengan pengalaman itu, cara terbaik memperkuat Pancasila justru harus dilakukan dengan mengurangi eksplisitasinya dan memperkuat fungsi implisitnya sebagai penanda kebersamaan sebuah republik yang merdeka. Bung Hatta pernah mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa langgeng di dalam demokrasi. Hari ini, setelah lebih dari 20 tahun reformasi, Indonesia semestinya bisa lebih percaya diri dan mengatakan bahwa Pancasila akan langgeng hanya apabila kita bisa mempertahankan dan memperluas demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo