Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengapa Ryan Membunuh

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembunuhan itu tidak berhenti dengan kematian sang korban. Ada seberkas bayangan hitam, dingin, dan menusuk, yang membuat orang menggigil ketika membayangkan kejadian di kamar 39A, Blok C, Margonda Residence, Jakarta Selatan, Jumat malam itu. Pemuda yang biasa ramah dan sering mengajak siapa saja bermain tenis di kompleks itu sekonyong-konyong menjadi makhluk lain. Ia memotong-motong tubuh tak berdaya di depannya menjadi tujuh bagian. Tiap-tiap bagian dicucinya dengan air hingga tak berdarah, sebagian besar anggota tubuh itu dimasukkan ke dua koper besar. Yang tersisa dibungkus kantong plastik.

Di dunia kontemporer ini kita sering disodori aneka gambaran tentang ideologi besar di belakang sederet pembantaian tak masuk akal. Ada beberapa pemuda berpakaian bersih, bergerak dengan hati mantap dan rencana besar untuk menghancurkan dua gedung World Trade Center di New York berikut isinya pada 11 September 2001: hampir 3.000 penduduk sipil tewas dalam waktu yang sama. Atau ada elite Amerika Serikat yang memerintahkan pilot pesawat tempur B29 menjatuhkan bom uranium di Hiroshima, pada 6 Agustus 1945: diperkirakan 60 ribu lebih warga sipil binasa di kota itu.

Very Idam Henyansah atau Ryan, 30 tahun, penghuni Margonda Residence yang telah membunuh lima orang-ada kemungkinan lebih dari itu-tentu saja tidak membutuhkan sebuah cause yang membuat hatinya bergetar, kemudian melupakan erangan korban yang sekarat. Keinginan membunuh tidak disebabkan oleh alasan dari luar atau dari benturan ide-ide besar itu. Dorongan itu berbisik dari dalam, sekaligus ketidakberdayaan atau ketidakinginan menyingkirkan dorongan itu. Penderita psikopat, begitulah kesimpulan rata-rata ahli jiwa yang mengomentari kasus ini. Orang yang tidak sanggup keluar dari dirinya. Ia berhenti pada dirinya, tidak mampu berempati terhadap korban dan penderitaan orang lain.

Belum ada kesimpulan klinis yang menunjukkan Ryan psikopat. Tapi wawancara majalah ini dengan Ryan memperlihatkan bahwa ia membunuh, lantas memutilasi korban tanpa merasakan apa-apa-sebuah gejala psikopat.

Memang kebanyakan kita hidup di kota-kota yang kehilangan kemanusiaan. Di setiap persimpangan lampu lalu lintas yang semakin ramai dan tak beratap, tidak jauh dari deretan billboard yang menawarkan produk, anak-anak balita cepat belajar bahwa meminta-minta merupakan jalan keluar dari impitan hidup sehari-hari. Ada banyak cerita mengenai peminta-minta yang membangun rumah bertingkat di desa. Juga mengenai pengumpulan dana untuk pembangunan masjid atau panti asuhan yang ternyata fiktif. Mereka telah menyulap ketidakberuntungan menjadi keberuntungan, dan sebagian dari kita yang merasa tertipu lantas membuat generalisasi: peminta-minta hanyalah sekelompok oportunis yang memanfaatkan kelemahan kita. Kita pun mulai berhenti bermurah hati kepada orang miskin dan perlahan kehilangan sensitivitas terhadap penderitaan orang yang malang.

Gejala psikopat ada di antara kita. Tapi orang seperti Ryan mungkin telah sampai pada satu titik ekstrem: jembatan yang menghubungkan pelaku dan korban pembunuhan putus sudah. Lima pembunuhan boleh jadi tidak berarti apa-apa baginya, malah bisa jadi mengasah kemampuannya menghabisi korbannya, sekaligus merasakan power di hadapan obyek yang tak berdaya. Dan yang paling penting, semua ini berjalan tanpa meninggalkan perasaan bersalah atau berdosa. Ia bisa membunuh, berbohong, atau menyengsarakan orang banyak tanpa merasa salah, bahkan tanpa rasa dendam. Ryan sendiri mengaku tidak punya dendam pada lima korbannya: Heri, Guruh atau Guntur, Grandy, Vincentius Yudhy Priyono, dan Ariel Somba Sitanggang.

Sejak dahulu psikopat sudah di sekitar kita. Karena itu masyarakat harus aktif memasok informasi kepada polisi. Mereka yang sering kehilangan diri sendiri, atau mengaku "kerasukan sosok" lain ketika membunuh seperti pengakuan Ryan, merupakan sosok yang perlu ditolong lingkungannya sebelum ia menjelma menjadi maniak yang membunuh tanpa sesal. Harus diakui, usaha menolong itu tak selalu berhasil. Di sekeliling kita pernah muncul psikopat seperti Robot Gedek, Dukun AS, Dukun Usep, Gribaldi Handayani, Rio Martil, dan sekarang ada Ryan.

Kita tak ingin berbagi tempat dengan para psikopat itu. Dan semestinya kita tak perlu menerima para psikopat subklinis-meminjam kategori Dr. Robert Hare, psikiater asal Kanada yang meneliti masalah psikopati-yang hidup di sekitar kita. Pejabat yang melakukan korupsi tanpa menyesal. Politikus yang biasa memanipulasi kepercayaan masyarakat pemilihnya untuk kepentingan pribadi. Juga sosok yang mematikan hidup seseorang demi keuntungan sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus