Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Aru Armando
Investigator Utama Kesekretariatan Jenderal KPPU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tarif transportasi adalah topik yang paling banyak menyita perhatian. Yang kita kenal saat ini adalah penggunaan tarif batas bawah dan tarif batas atas. Kata "batas" menunjukkan angka yang menjadi patokan. Penetapan tarif ini dikeluarkan regulator atau pemerintah dalam bentuk peraturan untuk dilaksanakan pelaku usaha sektor transportasi. Untuk batas bawah, terkadang ada pelaku usaha yang menyimpangkannya dengan alasan diskon yang sifatnya sementara. Biasanya ini disebut dengan marketing gimmick.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam beberapa kesempatan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyuarakan ketidaksetujuan saat pemerintah mengumumkan penetapan tarif batas bawah dalam sektor transportasi. Bahkan sikap KPPU ini sudah disuarakan jauh hari ketika pemerintah menetapkan tarif batas bawah tiket pesawat terbang. Paling tidak, hampir lima tahun lalu, KPPU sudah menyatakan hal ini. Ketua KPPU saat itu, Nawir Messi, menyatakan Indonesia telah mengambil langkah mundur ketika menetapkan tarif batas bawah.
Paling tidak, ada dua hal yang menjadi alasan pemerintah mengatur besaran tarif batas bawah ini: alasan keselamatan serta kekhawatiran perang tarif antar-operator. Namun faktor keselamatan tidak ada korelasinya dengan kebijakan tarif karena keselamatan sifatnya pasti dan tetap sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP). Jika dikaitkan dengan struktur tarif, aspek keselamatan adalah biaya tetap. Jika ada operator menetapkan tarif murah dengan mengorbankan aspek keselamatan, itu sudah menjadi tugas pemerintah untuk menertibkannya, bahkan bila perlu dengan sanksi.
Alasan perang tarif juga kurang tepat karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 20 undang-undang itu menyatakan, "Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat". Jadi, perilaku predatory pricing atau jual rugi sudah diatur serta menjadi tugas dan wewenang KPPU untuk menghukum atau menjatuhkan sanksi jika ada yang melanggar.
Dengan adanya tarif batas bawah, tidak ada insentif buat pelaku usaha untuk melakukan inovasi dan efisiensi karena tarif sudah dipatok atau ditetapkan. Padahal bisa jadi mereka dapat menjual jasanya di bawah tarif yang sudah ditetapkan. Singkat kata, pelaku usaha, operator, atau penyedia layanan tidak akan terdorong melakukan persaingan yang lebih kompetitif dengan pesaingnya di pasar. Padahal persaingan yang sehat itu justru akan menguntungkan konsumen.
Selain itu, pengaturan mengenai tarif batas bawah berpotensi-jika tidak ingin dikatakan pasti-menaikkan harga pada masa depan. Tarif batas bawah yang ditetapkan pasti dihitung berdasarkan pola tertentu dengan memperhatikan kondisi tertentu. Contohnya, tarif dihitung berdasarkan komponen tertentu, seperti harga bahan bakar, upah buruh, dan pengaruh nilai tukar mata uang. Dengan adanya penetapan tarif batas bawah, potensi besaran tarif menjadi sangat terbuka untuk naik secara berkala. Jika komponen-komponen pembentuk harga naik, pelaku usaha, operator, atau penyedia jasa bisa menggunakan dalih kenaikan salah satu komponen untuk meminta kepada regulator atau pemerintah menaikkan tarif batas bawah. Padahal pelaku usaha tersebut bisa melakukan inovasi atau efisiensi untuk menyesuaikannya dengan perubahan situasi dan kondisi tanpa perlu menaikkan harga atau minimal penyesuaian harga yang normal dan seminim mungkin.
Berbeda dengan tarif bawah, tarif batas atas masih sangat relevan untuk diatur. Hal tersebut untuk melindungi konsumen pengguna jasa layanan dari praktik penyalahgunaan penetapan tarif yang eksesif dari pelaku usaha, operator, atau penyedia layanan.
Singkat kata, kebijakan penetapan tarif seyogianya menganut prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sehingga tujuan lahirnya Undang-Undang Persaingan Usaha tercapai. Tujuannya, menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.