Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penegak hukum tidak serius mengusut pencucian uang.
Modus pejabat menyamarkan uang hasil kejahatan korupsi bukan hal baru.
Temuan PPATK semestinya menjadi amunisi untuk menelusuri asal-usul harta.
Berbagai temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai dugaan pencucian uang akan sia-sia bila penegak hukum tidak serius mengusut kejahatan tersebut. Melempemnya pemberantasan korupsi akhir-akhir ini membuat para pejabat semakin leluasa menyembunyikan aset-aset mereka.
Modus pejabat menyamarkan uang hasil kejahatan korupsi diungkapkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR belum lama ini. Hasil pelacakan PPATK menunjukkan uang milik para penyelenggara negara ini mengalir ke sejumlah pihak di luar susunan keluarga, termasuk pacar mereka. Transaksi mencurigakan ini merupakan tindak pidana pencucian uang.
Temuan tersebut sebenarnya bukanlah hal baru. Apa yang disampaikan Kepala PPATK merupakan persoalan klasik dalam pelbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat negeri ini. Pencucian uang untuk menggelapkan hasil kejahatan, misalnya, pernah terungkap dalam kasus impor daging sapi. Modus serupa tampak dalam kasus suap mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Wawan Ridwan.
Lalu kenapa tindak pidana pencucian uang terus terjadi? Masalahnya ada pada lemahnya kinerja aparat hukum menindaklanjuti laporan mengenai transaksi mencurigakan semacam ini. Dalih yang selalu mereka kemukakan adalah minimnya alat bukti. Hal yang lebih memprihatinkan, mereka yang seharusnya memberantas pencucian uang justru menjadi bagian dari skandal tersebut. Rekening gendut polisi salah satu contohnya. Polisi sungkan menelusuri skandal pencucian uang yang melibatkan kolega atau atasan mereka. Kinerja KPK di era Firli Bahuri juga tak bisa diharapkan.
Padahal temuan PPATK tersebut semestinya menjadi amunisi untuk menelusuri asal-usul harta. Dengan menelusuri aliran uang sampai ke hulu, mereka bisa membongkar kejahatan yang lebih besar. Undang-Undang Pencucian Uang juga memungkinkan penegak hukum menjerat para penikmat hasil korupsi, termasuk nominee yang menampung hasil kejahatan. Sayangnya, dari sekian banyak temuan PPATK, sedikit sekali yang berhasil diseret ke pengadilan.
Kalaupun ada yang sampai dihukum penjara, hal itu tidak membuat koruptor jera. Belum adanya Undang-Undang Perampasan Aset membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak kapok atas hukuman yang mereka terima. Pada kenyataannya, mereka masih dapat menikmati uang hasil kejahatan setelah menjalani hukuman badan.
Sayangnya, pemerintah bersama DPR malah mencoret RUU Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional tahun ini. Padahal aturan ini bisa mengisi kekosongan hukum dalam mengatasi tindak pidana ekonomi. Terutama menyangkut pemulihan aset hasil pencucian uang.
Buruknya kinerja penegak hukum, serta macetnya pembahasan RUU Perampasan Aset, membuat temuan PPATK semakin tidak bergigi. Dengan kewenangan yang terbatas, lembaga anti-pencucian uang ini seperti tak berkutik atas hasil temuannya sendiri. Wajar bila banyak pihak yang mulai mempertanyakan eksistensi PPATK.
Agar pekerjaan PPATK dalam melacak pencucian uang tidak sia-sia, sudah sepantasnya bila peran lembaga ini diperkuat. Salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada lembaga anti-pencucian uang untuk mengumumkan hasil analisis mereka kepada publik. Tanpa ada terobosan ini, temuan PPATK hanya akan menjadi arsip di tumpukan meja, betapa pun lengkapnya pelacakan transaksi mencurigakan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo