Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengesahan perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan setumpuk pekerjaan rumah kepada Presiden Joko Widodo. Dia harus memastikan-melalui peraturan presiden yang akan dibuat-pelaksanaan undang-undang tersebut tidak malah mendatangkan masalah baru berupa pelanggaran hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potensi pelanggaran HAM ada dalam beberapa pasal undang-undang ini. Misalnya, UU Terorisme kini membuka peluang bagi pelibatan penuh TNI melalui Pasal 43J perihal peran TNI, dan pencantuman motif "gangguan keamanan" dalam definisi terorisme. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menafsirkan pelibatan militer meliputi pencegahan, penindakan, dan pemulihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelibatan penuh TNI menjadi persoalan lantaran lembaga itu pada dasarnya dibentuk bukan untuk keperluan penegakan hukum, melainkan kepentingan perang. Berbeda dengan kepolisian, TNI tidak bekerja berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Situasinya bakal bertambah kompleks karena anggota TNI yang melakukan pelanggaran hanya dapat diadili di peradilan militer.
Agar tidak terjadi pelanggaran HAM, Jokowi mesti membatasi peran TNI seperti yang telah berjalan baik selama ini, yaitu membantu Polri dalam melaksanakan penindakan. Selain itu, peraturan presiden ihwal pelibatanTNI harus mencantumkan akuntabilitas militer dalam penanganan terorisme.
Satu lagi pekerjaan rumah berkaitan dengan TNI yang harus diselesaikan adalah merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum saat menangani terorisme seharusnya diadili di peradilan umum.
Implementasi dari diperpanjangnya masa penangkapan terduga teroris dari sebelumnya 7 hari menjadi 21 hari, yang diatur dalam Pasal 28 ayat 1 dan 2, mesti pula diawasi ketat agar tidak menimbulkan ekses. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, rawan terjadi pelanggaran hak asasi berupa penyiksaan dan penutupan akses bagi kuasa hukum ataupun keluarga untuk bertemu dengan terduga teroris.
Berikutnya, ketentuan mengenai penyadapan. Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Terorisme mengatur bahwa izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Waktu penyadapan yang cukup lama ini berpotensi menabrak privasi warga negara.
Wewenang penyadapan ini bertentangan pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penyadapan harus diatur dengan undang-undang, sehingga tata cara penyadapan untuk setiap lembaga bisa dibuat secara spesifik. Undang-undang penyadapan amat dibutuhkan karena hingga kini regulasi mengenai penyadapan masih terserak di berbagai undang-undang.
Kita berharap, dengan pagar-pagar yang tinggi, Undang-Undang Terorisme tidak lantas menjadi pembenar bagi aparat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencederai hak konstitusional warga negara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo