Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Mengukuhkan Eksistensi KPK

Sekalipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat ad hoc (sementara), sesungguhnya masyarakat sangat berharap eksistensi KPK tetap dipertahankan. Namun mengapa selama ini terlalu banyak gempuran untuk melucuti eksistensi KPK, dari kriminalisasi terhadap pimpinan, keinginan mengurangi fungsi KPK lewat revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, angket KPK, hingga rencana membentuk Densus Tipikor?

28 Desember 2017 | 06.00 WIB

Logo KPK. Dok Tempo
Perbesar
Logo KPK. Dok Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Melky Sidhek Gultom
Advokat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


Sekalipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat ad hoc (sementara), sesungguhnya masyarakat sangat berharap eksistensi KPK tetap dipertahankan. Namun mengapa selama ini terlalu banyak gempuran untuk melucuti eksistensi KPK, dari kriminalisasi terhadap pimpinan, keinginan mengurangi fungsi KPK lewat revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, angket KPK, hingga rencana membentuk Densus Tipikor?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sesungguhnya fenomena ini merupakan wujud kepedulian bangsa dan negara terhadap KPK supaya lembaga antirasuah itu melaksanakan tugasnya secara maksimal. Gebrakan dengan penindakan, seperti operasi tangkap tangan, ternyata tidak membuat jera koruptor. Semestinya hal itu diiringi dengan koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitor bersama berbagai instansi terkait, khususnya aparat penegak hukum lain, supaya tidak ada kesan "menyapu lantai tapi sapunya kotor".


Untuk mempertahankan eksistensinya, KPK justru harus bersih luar-dalam. Mustahil pula KPK dapat berjalan sendirian tanpa melibatkan aparat penegak hukum lain, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Namun, yang menjadi sasaran OTT KPK justru koleganya sendiri, yakni aparat peradilan, kepolisian, dan kejaksaan. Hal ini seharusnya dapat dikoordinasikan terlebih dulu lewat pimpinan Mahkamah Agung atau Ketua Komisi Yudisial, Jaksa Agung, dan Kepala Polri. Ini perlu dilakukan supaya institusi tersebut menegakkan tata kelola yang baik, termasuk sumber daya manusia serta visi dan misi yang sama, seperti yang sudah dibangun KPK dengan MA melalui Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).


Jika, misalnya, ada jaksa yang terindikasi korupsi dan KPK akan menggelar OTT, KPK bisa secara langsung menghubungi Jaksa Agung. Dengan demikian, pimpinan lembaga itulah yang pertama sekali menindak anak buahnya tanpa harus diketahui publik melalui siaran pers. Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Tentunya, tiga lembaga penegak hukum itu harus merespons secara positif temuan KPK tersebut.


Mengapa hal ini sangat urgen dilakukan KPK? Sebab, ini untuk menjaga profesionalitas, akuntabilitas, dan kepercayaan publik. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang hakim ditangkap dan dipertontonkan kepada dunia melalui siaran televisi. Apa kata masyarakat dan dunia terhadap peradilan Indonesia, yang seharusnya KPK turut serta menjaga harkat dan wibawanya di mata dunia.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali berpendapat, dari hasil studi banding yang dilakukan di Negara Belanda, tidak seorang pun hakim Belanda pernah ditangkap dan diberhentikan. Kalau hakim itu bermasalah, dia akan diminta mengundurkan diri sebagai hakim dengan kerahasiaan tetap dijaga. Jika ia tidak bersedia mundur, barulah dikenakan proses hukum.


Saya mengapresiasi contoh tersebut. Apalagi selama ini telah ada kerja sama antara KPK dan pimpinan Mahkamah terkait dengan Saber Pungli. Mahkamah pun sudah menerbitkan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/2017 tentang tanggung jawab pimpinan pengadilan terhadap anak buahnya yang tidak melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Pimpinan pengadilan kini dapat dicopot dari jabatannya. Ini adalah salah satu wujud keseriusan pimpinan Mahkamah untuk memperbaiki sistem. Langkah tersebut dilakukan agar tidak terjadi lagi peristiwa OTT seperti yang sudah dipertontonkan KPK kepada publik ketika seorang Ketua Pengadilan Tinggi Manado diringkus KPK lewat OTT.


Pesan Ketua Mahkamah Agung yang ingin mencontoh sistem di Belanda tersebut telah dilakukannya melalui penelusuran Badan Pengawasan Mahkamah Agung ke daerah terhadap setiap berita dan laporan masyarakat. Sekecil apa pun peristiwa di media massa (online) terkait dengan integritas hakim, pengawas langsung menelusuri kebenaran berita tersebut. Jika benar, hakim itu langsung diberi sanksi, dicopot dari jabatannya, disuruh mengundurkan diri, atau diproses secara hukum tanpa harus diketahui publik. Namun, apabila berita itu tak benar, nama baiknya akan dipulihkan.
Setelah KPK berkoordinasi secara profesional dengan pimpinan lembaga penegak hukum, barulah kemudian berkoordinasi dengan lembaga tinggi negara, seperti lembaga eksekutif (presiden), legislatif, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Adalah sangat ajaib jika pejabat lembaga tinggi negara harus diciduk dan dipertontonkan di muka umum melalui siaran televisi dan media cetak. Padahal belum tentu dia bersalah di pengadilan.


KPK perlu berkoordinasi dengan semua instansi pemerintah untuk bersama-sama melakukan supervisi dan pemantauan sebagai langkah pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Ketika sistem sudah dibangun oleh KPK secara komprehensif di seluruh instansi terkait, berarti KPK sudah melaksanakan tugas pokoknya secara maksimal. Kalau masih tetap terjadi penyimpangan dan pelanggaran hukum, ultimum remedium (penerapan sanksi pidana sebagai jalan terakhir) harus dilakukan.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus