Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengungkap Juru Selamat Century

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANGAT masuk akal jika perubahan aturan yang membuat Bank Century bisa memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek mengundang kecurigaan. Disahkan Bank Indonesia pada pertengahan November tahun lalu, aturan baru ini diberlakukan untuk merespons permintaan utang yang diajukan bank itu dua pekan sebelumnya. Bank Century pun memperoleh pinjaman hingga Rp 689 miliar, yang baru bisa dikembalikan setelah bank itu disuntik dana Lembaga Penjamin Simpanan.

Fase prapenyelamatan inilah yang layak ditelusuri Panitia Khusus Hak Angket Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat. Begitu juga dengan fase pascapenyelamatan, setelah penggelontoran Rp 6,7 triliun buat bank itu pada 24 November hingga 11 Desember 2008. Terus memperdebatkan dalil sistemik yang dijadikan dasar penyelamatan cenderung kontraproduktif karena Komite Stabilitas Sistem Keuangan memiliki argumentasi yang juga bisa dipertanggungjawabkan.

Bank Century mengalami persoalan keuangan serius sejak Juli 2008. Penyebabnya: perilaku kriminal pengendali bank itu. Di puncak badai krisis keuangan global pada Oktober tahun itu, masalah semakin genting. Kas Century cepat menguap, sementara kewajibannya segera jatuh tempo. Century lalu meminta bantuan lender of the last resort, Bank Indonesia. Tapi rasio kecukupan modal bank ini jauh di bawah persyaratan delapan persen. Di sinilah bank sentral membuka pintu: mengendurkan syarat pinjaman, termasuk menurunkan ketentuan rasio kecukupan modal.

Kepada Panitia Angket, mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan perubahan aturan itu ditujukan buat semua bank. Di masa krisis, katanya, perubahan seperti itu wajar dilakukan di negara mana pun. Tapi, yang tak bisa dibantah, perubahan itu sesungguhnya dibuat untuk mengatasi masalah Century. Semua pembahasan yang tertuang dalam notulen rapat selalu merujuk pada persoalan bank itu. Namun ini bukan berarti keputusan itu otomatis bisa dipersoalkan secara hukum, terutama karena bank sentral sejak awal memiliki satu pegangan: mengharamkan adanya ”bank gagal”.

Yang bisa dilakukan adalah menelisik kemungkinan moral hazard, baik pada pengelola Century maupun para pejabat bank sentral. Kita tahu Bank Century sejak awal dikelola dengan penuh manipulasi. Contohnya laporan keuangan yang tidak disajikan secara benar sejak 2007. Sayangnya, pada saat yang sama, Bank Indonesia tidak melakukan pengawasan dengan semestinya. Sejumlah pelanggaran dibiarkan terjadi begitu saja. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat 13 November 2008 bahkan sampai perlu meminta Bank Indonesia menindak tegas pengelola Century yang ”mencoba-coba merugikan banknya sendiri”.

Panitia Angket bisa ”menguliti” perkara paling mendasar ini: mengapa bank sentral gagal mendeteksi kebobrokan sebuah bank yang terjadi sebegitu lama. Jika ternyata mengetahui ada pelanggaran, mengapa para petinggi Bank Indonesia tidak melakukan tindakan buat menghentikannya agar tidak terus berulang. Sungguh susah dimengerti, bagaimana pengelola Century bisa leluasa mengelabui bank sentral bahkan sampai detik-detik bank itu diselamatkan.

Fase prapenyelamatan ini sangat penting ditelusuri. Sebab, pertama, Komite Stabilitas Sistem Keuangan benar-benar hanya mengandalkan data Bank Indonesia untuk mengambil keputusan penyelamatan bank gurem itu. Kedua, dengan data yang tidak akurat sejak awal dari bank sentral, dana penyelamatan yang digelontorkan Lembaga Penjamin Simpanan terus membengkak. Dengan penelusuran mendalam, akan bisa diketahui, siapa saja di antara mereka yang paling bertanggung jawab pada fase ini.

Penyelamatan Century merupakan suatu rangkaian panjang. Hanya fokus pada keputusan penyelamatan pada 21 November 2008 niscaya akan susah menemukan pelanggaran. Soalnya, dari dokumen notulen rapat-rapat, Komite Stabilitas tampaknya telah melakukan pengujian terhadap berbagai skenario Bank Century. Terutama dikaitkan dengan nasib bank-bank lain yang setara dan perekonomian secara keseluruhan. Sejak awal, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Ketua Komite Stabilitas pun telah melaporkan persoalan ini ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika itu sedang melawat ke Amerika Serikat.

Tentu saja, untuk mengungkap misteri di balik kejanggalan kasus ini, Panitia Angket tak cukup hanya mengandalkan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan semata. Dengan kewenangan besar yang dimiliki para wakil rakyat di Senayan ini, mereka harus bisa mendapatkan lalu menggali data lain yang relevan. Panitia harus bekerja ekstrakeras, tak cuma menyerahkan bahan berupa dokumen kepada staf untuk dibikinkan pertanyaan kepada para ”saksi” dan ”tertuduh”. Hanya dengan cara inilah mereka akan dicatat sebagai wakil rakyat yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, bukan memainkan kasus ini untuk gagah-gagahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus