Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
MENGUNGKAP KISAH LAIN SUSI SUSANTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebuah film debut sutradara Sim F yang menjanjikan. Bukan sekadar kisah olahraga, tetapi juga soal ke Indonesiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SUSI SUSANTI: Love for All
Sutradara : Sim F
Skenario : Syarika Bralini, Raditya, Raymond Lee, Daud Sumolang, Sinar Ayu Massie
Pemain : Laura Basuki, Dion Wiyoko, Farhan, Lukman Sardi, Farhan, Chew Kin Wah, Kelly Tandiono, Rafael Tan, Nathaniel Sulistyo, Jenny Zhang, Iszur Muchtar, Dayu Wijanto, Delon, dan Moira Tabina Zayn.
Produksi : Dam I Love Indonesian Movies Production bekerja sama dengan Oreima Film, East West Synergy, Melon Indonesia and BuddyBuddy Pictures
***
Setangkai raket , seuntai medali emas dan sebuah identitas.
Ketika kabar tentang Susi Susanti, atlit bulutangkis legendaris Indonesia akan diangkat ke layar lebar, saya mengira kita akan disajikan sebuah film olahraga yang formulaik: zero to hero; seorang gadis dari desa Tasikmalaya yang bekerja keras untuk menjadi seorang juara, yang membanggakan , yang habis-habisan, yang kemudian membuat banjir airmata masyarakat Indonesia ketika akhirnya Indonesia meraih medali emas di Olimpiade 1992 Barcelona.
Sosok Susi Susanti yang berkalungkan medali emas, berdiri sambil bercucurkan airmata saat lagu “Indonesia Raya” berkumandang selalu terpateri dalam ingatan generasi yang mengalaminya ketika saluran televisi belum banyak pilihan.
Tetapi debut sutradara Sim F ini ternyata mengejutkan. Tentu saja formula di atas memang ada; tentu saja kita menyaksikan si kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn) pada perayaan di kampungnya di Tasik tengah mengenakan baju balet untuk sebuah lomba, malah kabur dan ikut lomba bulu tangkis (ya dalam kostum baletnya) dan: menang. Tentu saja Susi kecil adalah “anak Ayah” (diperankan Iszur Muchtar) yang mempunyai percakapan khusus antara keduanya setiap kali Susi tengah kecewa atau dilanda tandatanya. Bagian perburuan dan ambisi Susi kepada semua kejuaraan bulutangkis tingkat nasional maupun internasional ; bagian Susi dewasa (diperankan dengan bagus sekali oleh Laura Basuki) dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko) yang jatuh cinta tentu sebuah formula dan jalan cerita yang sudah pasti diduga dan harus ada dalam film biopic Susi Susanti yang kita kenal.
Bagian yang mengejutkan dan menarik dari film ini adalah Sim F dan para penulis skenario (yang jumlahnya banyak banget itu) memutuskan untuk memasukan persoalan diskriminasi ras Tionghoa. Seorang Susi Susanti yang telah meletakkan nama Indonesia di atas peta dunia itu ternyata masih saja harus gedebukan mengurus SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), sebuah kartu identitas yang pada masa itu diwajibkan dimilikki oleh warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dan India. Kartu ini adalah seolah seperti ‘nyawa’ karena semua pengurusan surat penting semacam KTP, mengurus pendidikan, paspor, ikut pemilu, surat untuk menikah dan seterusnya itu harus didahului dengan kepemilikan SBKRI. Dan di dalam film ini, Susi yang sudah menghasilkan medali emas bagi Indonesia itu ternyata masih kesulitan memperoleh kartu tersebut. Kepahitan inilah yang tak terlalu diketahui masyarakat dan diungkapkan dengan gamblang oleh Sim F.
Tepat Mei 1998 , setelah peristiwa kerusuhan, tim badminton Indonesia menghadapi kecaman di Hong Kong, akibat perlakuan terhadap warganegara keturunan Tionghoa, sementara di Indonesia sendiri mereka diperlakukan secara diskriminatif.
Inilah yang menyebabkan film “Susi Susanti, Love for All” menjadi lebih istimewa dibanding film-film berlatar belakang olahraga lainnya. Persoalan bagaimana atlet keturunan Tionghoa, dari era Rudy Hartono hingga Tjun Tjun, Mulyadi, Christian Hadinata hingga Susi Susanti yang tetap bertahan menjadi seorang Indonesia, meski mereka bisa saja mencelat ke negara lain jika mau; dan tetap lebih Indonesia karena memang mereka adalah orang Indonesia membuat film ini bukan cuma mengulik sentimentalitas nasionalisme melalui kemenangan belaka.
KeIndonesiaan dalam film ini, menurut saya adalah sikap Susi Susanti, yang sekali lagi, diperankan dengan penuh sinar oleh Laura Basuki. Kita bukan hanya merasa ambisi yang terpancar dari ketekunannya bermain di lapangan (mereka yang sempat menyaksikan permainan Susi di masa lalu pasti tahu kekuatannya adalah rally yang panjang); bukan hanya gaya serve Susi yang khas dan anggun itu saja, tetapi Susi seolah menitis ke dalam tubuh Laura dalam segala keteguhan hatinya; kecintaannya pada Indonesia dan ah, saksikan saja ketika dia menerima medali Olimpiade itu. Hampir seperti pinang dibelah dua. Susi tak hanya diwakili setangkai raket dan medali ema situ, tetapi bagi saya inilah sebetulnya Indonesia yang kita inginkan: beragam, penuh warna , penuh keinginan.
Mungkin saja musik dan scoring film ini agak terlalu bergelora di banyak tempat. Sesekali, kita butuh keheningan tanpa musik untuk mewakili Susi yang sesungguhnya digambarkan seorang sosok yang tak banyak bicara. Tetapi untuk sebuah film debut, “Susi Susanti, Love for All” adalah janji yang akan saya pegang. Sim F layak diperhatikan dan akan saya nantikan karyanya.
Leila S.Chudori