Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELEMAHAN rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semestinya tidak terus terjadi jika pemerintah sejak awal berhasil mengatasi defisit neraca transaksi berjalan yang sudah berlangsung sejak 2011. Sepanjang neraca transaksi berjalan masih defisit, rupiah selalu dalam posisi rawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Defisit neraca seperti ini membuat Indonesia menjadi peminjam neto dari negara lain karena membutuhkan modal atau aliran dana untuk membiayai defisit. Situasi ini terjadi sejak berakhirnya booming harga komoditas setelah ekonomi Cina, yang menjadi penyerap terbesar barang ekspor Indonesia, kian lesu. Di sisi lain, kebutuhan barang impor di dalam negeri meningkat sehingga impor naik, yang berujung pada melonjaknya kebutuhan akan dolar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya Indonesia bisa meraih dana asing. Celakanya, dana asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak melalui investasi portofolio, seperti saham di pasar modal, bukan untuk pembiayaan produktif di sektor riil. Arus modal seperti ini memiliki risiko besar karena sewaktu-waktu gampang keluar. Porsi asing dalam kepemilikan Surat Berharga Negara, misalnya, menurut data Kementerian Keuangan, sudah mencapai Rp 860,63 triliun atau sekitar 40 persen dari nilai yang diperdagangkan. Adapun di pasar saham Indonesia, asing sudah menguasai 60 persen investasi.
Tak mengherankan, setiap ada rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve), rupiah selalu mengalami tekanan. Seperti pekan lalu, rupiah bergerak di interval 13.700-13.800 per dolar Amerika, atau sudah berada di bawah nilai fundamentalnya. Gejolak ini diperkirakan terus terjadi hingga The Fed merealisasi rencana menaikkan suku bunga pada pertengahan Maret ini.
Jika pelemahan terus berlanjut, dampak buruknya menjalar ke mana-mana. Dampak yang bakal dirasakan dalam jangka pendek adalah kenaikan biaya impor sehingga beban industri yang berbasis bahan baku dari luar negeri akan meningkat. Dampak lainnya adalah inflasi akibat kenaikan harga barang impor dan pembengkakan subsidi energi.
Risiko yang terbilang serius ada pada utang luar negeri serta proyek-proyek pemerintah yang mengandalkan pinjaman asing dan bahan baku atau barang modal impor. Tercatat utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 390 triliun atau 17,56 persen dari nilai belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018. Dengan kurs dolar di atas asumsi APBN pada level 13.400, anggaran untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo dan pembiayaan proyek pemerintah yang sarat barang impor jelas bakal membengkak.
Dengan segala risiko tersebut, tren pelemahan rupiah tak bisa dihadapi hanya dengan operasi moneter atau intervensi Bank Indonesia. Pemerintah harus membuat kebijakan fundamental agar pelemahan rupiah tidak terjadi musiman. Negara kita adalah negara lapar dolar sehingga perlu dibuka lebar pintu pemasukannya. Ekspor harus terus digenjot mumpung rupiah tengah melemah agar neraca perdagangan tidak minus.
Setelah surplus tahun lalu, neraca perdagangan awal tahun ini kembali terpuruk karena impor lebih besar ketimbang ekspor. Pemerintah harus segera bertindak. Mereka harus memanfaatkan adanya tren positif bahwa dua tahun terakhir ekspor industri pengolahan atau manufaktur, yang terus menurun sejak krisis 1998, kembali menggeliat.
Pemerintah tidak boleh menyia-nyiakan peluang ini. Ekspor sektor manufaktur harus digenjot karena lebih stabil ketimbang komoditas. Peningkatan nilai investasi untuk menumbuhkan industri dalam negeri yang kompetitif juga tidak kalah pentingnya. Jika langkah tersebut konsisten dijalankan, bukan hal yang mustahil rupiah akan terus stabil.