Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta belum memiliki rencana induk sistem proteksi kebakaran (RISPK), yang membuat penanganan kebakaran masih sporadis. Penanganan kebakaran hanya bertumpu pada Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP), padahal tanggung jawab pencegahan kebakaran ada di berbagai instansi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 143 Tahun 2016 tentang Manajemen Keselamatan dan Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan belum efektif dijalankan. Peraturan ini sudah mengatur bangunan perumahan di permukiman, baik yang tertata maupun tidak, harus dilengkapi prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, pengembang, dan masyarakat.
Kebakaran terus terjadi beruntun di permukiman padat di Krukut, Tamansari, Jakarta Barat, 17 Maret lalu, juga di gudang gabus sintetis dan gudang air minum kemasan di Kamal, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, serta di pabrik kerupuk di Jalan Pejaten Barat RT 002 RW 008 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 18 Maret lalu.
DPKP (2018) mencatat terjadi peningkatan bencana kebakaran, dari 1.171 kebakaran (rata-rata tiga kejadian per hari) pada 2016, menjadi 1.471 kebakaran (empat kejadian per hari) pada 2017, dan 1.751 kebakaran (4-5 kejadian per hari) pada 2018. Mulai Januari hingga 23 Maret ini sudah terjadi 332 kebakaran dengan enam korban tewas dan kerugian mencapai Rp 75,7 miliar. Hubungan pendek arus listrik penyebabnya.
Kebakaran adalah musibah yang seharusnya bisa diidentifikasi, dideteksi, diantisipasi, dan dihindari. Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, DPKP menyusun rencana induk sistem proteksi kebakaran (RISPK) yang mencakup pemetaan kawasan rawan kebakaran; jumlah kebutuhan alat pencegah kebakaran di tingkat kecamatan, kelurahan, RT/RW; sistem koordinasi pencegahan kebakaran lintas sektoral; serta integrasi pencegahan dan antisipasi kebakaran antar-satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Ada 56 titik kawasan padat rawan kebakaran. Mereka antara lain Johar Baru, Tanah Abang, Tambora, Tamansari, Grogol, Petamburan, Tebet, Pasar Minggu, Palmerah, Kebayoran Baru, Pancoran, Pulo Gadung, Cipayung, Kramatjati, dan Kampung Makasar.
Kedua, DPKP harus meningkatkan kemampuan armada dan peralatannya. Penambahan jumlah personel pemadam kebakaran, dari 2.777 orang menjadi jumlah ideal 4.500 orang. Pompa hidran ada 1.300 unit, tapi hanya 800 unit yang berfungsi baik. Idealnya ada 20 ribu unit. Setiap kelurahan harus memiliki satu pos pemadam kebakaran, yang saat ini baru ada 73 pos untuk 267 kelurahan.
Lalu memperbanyak pemasangan hidran kering, yakni saluran pipa yang bisa disambung dengan tangki pemadaman, dan hidran mandiri, atau hidran yang dipasang di gang-gang padat, serta alat pemadam api beroda dan selimut api di kelurahan, juga alat pemadam api ringan (APAR) di RT/RW.
Pasokan air dari operator air perpipaan yang seret, debit air hidran kecil, dan tekanan yang lemah membuat air sulit dimasukkan ke tangki mobil. DPKP lebih banyak mengandalkan sumber air alami terdekat (sungai, situ, danau, waduk) dan selokan. Perlu dukungan Dinas Sumber Daya Air dan PAM Jaya untuk jaminan ketersediaan pasokan air.
Ketiga, pencegahan kebakaran di kawasan padat harus berbasis masyarakat. Perilaku warga sadar mencegah kebakaran harus dibangun. Simulasi latihan mengantisipasi kebakaran rutin digelar. Kelompok sukarelawan pemadam kebakaran tingkat RT/RW/kelurahan dibentuk dan didukung dengan kelengkapan peralatan pemadam kebakaran.
DPKP, PLN, dan kepolisian menginspeksi instalasi listrik dan gas di permukiman rawan kebakaran. Perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan antisipasi dan mitigasi kebakaran, seperti penggunaan listrik hemat dan tepat; tidak mengubah MCB (miniatur circuit breaker); pemakaian kompor gas yang aman; dan operasional alat pemadam kebakaran terlatih.
Keempat, cek regulasi dan legalitas status peruntukan lahan lokasi rawan kebakaran dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang serta Peraturan Zonasi DKI Jakarta 2030 untuk hunian, perkantoran, komersial, atau RTH.
Pemugaran meliputi upaya perbaikan dan pembangunan kembali kawasan hunian menjadi permukiman layak huni. Peremajaan kawasan mewujudkan permukiman yang lebih baik dengan lebih dulu menyediakan tempat tinggal sementara.
Kelima, cek legalitas kepemilikan lahan, apakah tanah negara, perusahaan, atau perseorangan. Konsolidasi lahan meliputi pengukuran ulang lahan, klarifikasi legalitas sertifikat dan negosiasi, kesepakatan ganti untung, serta penataan lingkungan bersama warga.
Jika peruntukan hunian, pemerintah daerah meremajakan kawasan secara menyeluruh dan menyediakan hunian vertikal terpadu dengan ketinggian rendah-sedang (4-8 lantai). Jika peruntukan bukan hunian, pemerintah daerah merelokasi warga ke rumah susun terdekat dan mengembalikan lahan sesuai dengan peruntukan. Membangun kota bebas kebakaran bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo