Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Widodo Pranowo
Pengajar Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir telah mengusulkan pembentukan Badan Riset Nasional kepada Presiden Joko Widodo. Rencana ini menarik perhatian para akademikus, dan berbagai spekulasi muncul, khususnya soal format dan pola kerja lembaga baru itu. Selain itu, bagaimana nasib lembaga riset yang sudah ada, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu ide dasar pembentukan Badan Riset Nasional adalah penggabungan berbagai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) di berbagai kementerian dan badan negara. Lembaga-lembaga ini dituntut untuk menghasilkan publikasi ilmiah, seperti LIPI dan lembaga penelitian di universitas. Padahal, sebagian lembaga itu tidak hanya menghasilkan artikel ilmiah dan buku, tapi juga (paten) teknologi, dan rekomendasi kebijakan. Namun, hingga saat ini tolok ukur pencapaian tertinggi kinerja semua akademikus, termasuk di lembaga itu, adalah melalui jumlah publikasi yang diterbitkan.
Ada juga masalah akreditasi jurnal. Sebelum Juni 2018, akreditasi dilakukan oleh dua lembaga. LIPI menilai jurnal-jurnal terbitan kementerian/lembaga dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menilai jurnal terbitan perguruan tinggi. Kementerian Riset mencoba memecahkan masalah dualisme akreditasi jurnal nasional ini.
Kementerian Riset saat ini sedang mendata semua hasil publikasi riset, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan oleh lebih dari 294 ribu akademikus ke dalam portal Science & Technology Index (Sinta). Hasilnya, pada 2017, jumlah publikasi ilmiah Indonesia akhirnya melampaui seluruh negara Asia Tenggara. Ini torehan prestasi yang membanggakan.
Pembentukan Badan Riset Nasional sudah semestinya didukung sepenuhnya oleh seluruh kementerian dan lembaga riset. Jika tidak, yang muncul adalah inefisiensi. Saat ini tercatat jumlah seluruh peneliti dari kementerian dan lembaga adalah lebih dari 9.000 orang. Peneliti di masing-masing kelompok bidang kepakaran memiliki karakteristik kerja sesuai dengan bidang masing-masing. Apabila kementerian dan lembaga hanya merelakan sumber daya penelitinya untuk bergabung ke dalam Badan Riset Nasional, tanpa keikhlasan yang dilandasi semangat gotong-royong untuk menyerahkan aset gedung dan alat kerjanya, Badan Riset Nasional akan butuh waktu lama untuk dapat bekerja optimal. Hal ini akan dapat mempengaruhi jumlah produksi publikasi riset nasional.
Sebelum Badan Riset Nasional diresmikan, lebih dari 200 jurnal ilmiah elektronik terakreditasi di kementerian dan lembaga riset harus dimigrasikan terlebih dulu ke sebuah server sebagai rumah jurnal. Kementerian Riset juga harus memastikan proses bisnis jurnal-jurnal tersebut tidaklah mandek sehingga kehilangan status akreditasinya. Apabila langkah teknis pada masa transisi tersebut tidak berjalan baik dengan cepat, diperkirakan Indonesia akan kehilangan sekitar 2.000 artikel ilmiah berkualitas setiap tahun.
Saat ini, 7.000 dari sekitar 8.000-an jurnal nasional masih belum terakreditasi. Mengingat situasi tersebut, akan lebih bijak apabila seluruh tenaga, pikiran, dan sumber daya yang ada secara nasional saat ini dapat difokuskan untuk mempercepat peningkatan status akreditasi jurnal tersebut. Langkah ini merupakan sebuah fungsi kuantitas dari produk penelitian dan pengembangan atau riset yang berkualitas.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah peningkatan ketersediaan infrastruktur dan kemampuan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi di badan baru tersebut. Penyiapan ini penting guna mengatasi persoalan laten, yaitu masih sedikitnya jurnal yang beralih ke sistem elektronik dan bisa diakses secara online.