Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa arti terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia? Doktor Sjahrir, Ketua Umum Partai Indonesia Baru, punya jawaban yang menarik. "Artinya, rakyat Indonesia menginginkan perubahan yang berkesinambungan dengan masa lalu. Buktinya, partai saya yang mengkampanyekan perubahan total ternyata remuk di pemilihan umum," katanya. Ia mungkin benar karena ternyata banyak lagi alasan pendukung yang lain.
Salah satunya adalah posisi pasangan ini sebelum masuk gelanggang. Keduanya sempat menjadi Menteri Koordinator di kabinet Megawati dan tak pernah terdengar bentrok dalam soal kebijakan dengan atasan mereka. Karena itu, kuat dugaan hampir 70 juta rakyat memilih pasangan ini bukan karena menawarkan kebijakan baru, melainkan karena percaya bahwa mereka lebih mampu melaksanakannya ketimbang Megawati Soekarnoputri. Selain itu, hampir 45 juta rakyat yang lain masih memilih Megawati, yang cuma mengubah wakil yang mendampinginya. Maka, dapat dikatakan lebih dari 100 juta penduduk Indonesia sebenarnya mengharapkan perubahan yang berkelanjutan, bukan yang radikal.
Dan harapan itu agaknya tecermin dalam susunan kabinet yang baru saja dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sosok-sosok yang kontroversial tersisih dari posisi strategis atau bahkan tersingkir sama sekali dari bursa pencalonan. Tim ekonomi, misalnya, mewakili ideologi yang beragam tapi diperkirakan masih dapat bekerja sama. Demikian pula tim hukum dan keamanan bukanlah figur yang dikenal sebagai motor reformasi total, melainkan yang sebelumnya dikenal berjalan di jalur lambat. Kabinet ini memang merupakan kombinasi orang-orang yang pernah berada di pemerintahan dan mereka yang benar-benar baru. Barangkali itu sebabnya disebut dengan nama Kabinet Indonesia Bersatu.
Kebersatuan ini rupanya bagian dari strategi Susilo Yudhoyono yang dinyatakan sebagai K2A: Konsiliasi, Konsolidasi, dan Aksi. Upaya konsiliasi ini juga akan diteruskan dengan pengangkatan 30-an pejabat berbagai badan dan institusi yang selama ini berada langsung di bawah presiden. Selain itu, juga segerombolan staf ahli dan pembantu lainnya?kebanyakan anak-anak muda berbakat?di lembaga kepresidenan.
Para staf di istana itu rupanya disiapkan untuk membantu kepala negara menyusun kebijakan dan melakukan evaluasi kinerja pemerintahan, termasuk perkembangan aspirasi masyarakat dan dalam menjalin hubungan dengan lembaga lain seperti DPR. Dengan mekanisme ini, para menteri memang lebih berfungsi sebagai pelaksana kebijakan yang diambil presiden di departemen masing-masing, sedangkan wakil presiden diasumsikan akan berfungsi seperti kepala staf, dan oleh karena itu akan satu kantor dengan atasannya.
Akankah sistem yang mirip dengan yang berlaku di Gedung Putih di Washington DC ini berjalan baik? Mungkin terlalu dini untuk menjawabnya. Sikap yang lebih arif untuk diambil adalah memberi waktu kepada pemerintahan baru ini untuk membuktikan kemampuan mereka. Waktu seratus hari ke depan jelas terlalu pendek untuk dijadikan acuan yang sebenarnya, namun boleh digunakan sebagai petunjuk awal. Evaluasi tahunan, yang memang lebih umum dilakukan di organisasi swasta maupun pemerintahan, mungkin lebih tepat dijadikan patokan. Tentu dengan catatan tak ada perilaku para pejabat pemerintahan baru ini yang benar-benar keterlaluan.
Kalau penyimpangan serius ternyata terdeteksi lebih dini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono patut didorong untuk mengambil tindakan tegas. Sebab, memberi kesempatan setahun ke depan bukan berarti masyarakat luas boleh cuti dulu dari tugas mengawal reformasi. Apalagi, dapat dipastikan paling telat awal tahun depan pemerintahan baru harus menaikkan harga bahan bakar minyak jika harga dunia komoditas vital ini tak juga turun dari posisi tinggi belakangan ini. Bagaimana proses penurunan subsidi BBM ini dilakukan dan langkah pengamanan apa yang akan dilakukan bagi kelompok masyarakat tak mampu dalam menghadapi masalah ini adalah salah satu contoh kebijakan pemerintah yang harus terus dipantau orang ramai.
Lagi pula, sebelum pil pahit itu diberikan kepada rakyat, pemerintahan baru hendaknya telah menunjukkan indikasi kuat melaksanakan tekad membasmi kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akan sangat menyakitkan hati banyak orang jika para koruptor dan pencuri uang rakyat seperti pelaku utama pembobol Bank BNI senilai lebih dari Rp 1 triliun?yang berarti sama dengan anggaran sistem pengadilan nasional selama setahun?tetap bebas berkeliaran, bahkan hidup mewah, sementara harga BBM harus dinaikkan untuk menghemat subsidi pemerintah.
Itu sebabnya tak semua aspek reformasi boleh dibiarkan berjalan di jalur lambat. Khusus dalam upaya penegakan hukum dan pembasmian korupsi, Indonesia yang tercatat menempati peringkat keenam sebagai negara paling korup di dunia, di mata para pengusaha internasional, ini mesti berani masuk ke jalan bebas hambatan dan menekan pedal gas kuat-kuat. Soalnya, jika hal ini tak dilakukan, Indonesia akan terlempar dari divisi negara berkembang ke kelompok negara-negara gagal. Kita semua jelas harus bekerja keras untuk memastikan hal ini tak akan terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo