Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Setumpuk Masalah di Mandalika

Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika gagal mengangkat ekonomi warga lokal. Korban penggusuran pun belum dibayar.

16 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sengkarut pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, merupakan contoh buruk yang tak boleh terulang. Setelah sempat jadi berita karena penyelenggaraan MotoGP dan World Superbike di sana justru merugi, kini sejumlah peneliti mengungkapkan persoalan lain yang tak kalah serius. Skema pembiayaan campuran—atau blended finance—yang menggabungkan pendanaan komersial dan non-komersial untuk membangun Mandalika dinilai melenceng dari tujuan awalnya. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, proyek mercusuar itu justru membawa kerugian buat warga setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Riset yang dirilis International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia pada pekan lalu menemukan sederet masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola yang muncul sebagai dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Janji perbaikan kesejahteraan yang diiming-imingi pemerintah kepada warga, terutama yang lahannya dipakai untuk kawasan ini, belum dipenuhi hingga kini. Sebagian dari total 105 responden yang diwawancarai tim peneliti pada Desember 2022 hingga Januari 2023 mengaku belum menerima ganti rugi, dana kompensasi rumah, ataupun bantuan pemulihan sosial-ekonomi.

Presiden Joko Widodo alias Jokowi tak boleh lagi hanya mengedepankan pencitraan dan gengsi lewat berbagai proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah, yang sayangnya tak banyak memberikan manfaat bagi ekonomi negeri ini. Ketika pertama kali dibangun, kawasan Mandalika digadang-gadang akan menjadi pintu masuk pembangunan di Indonesia bagian timur. Nyatanya proyek ini malah menambah utang negara dan membuat masyarakat Lombok menderita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai perhelatan olahraga di Mandalika, seperti MotoGP dan World Superbike, hanya dapat berjalan karena sokongan 35 badan usaha milik negara, terutama PT Pertamina (Persero). Dengan kata lain, uang negara dikucurkan agar Mandalika bisa terus hidup meski menanggung rugi.

PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), perusahaan pelat merah pengelola Mandalika, mengklaim MotoGP 2022 menyumbang Rp 3,57 triliun bagi perekonomian NTB dan Rp 4,5 triliun bagi perekonomian nasional. Kenyataannya, kini ITDC berutang Rp 4,6 triliun karena kerugian dalam penyelenggaraan dua event balap internasional: MotoGP dan World Superbike. Lagi-lagi pemerintah dipaksa mengeruk anggaran negara untuk menutupi utang tersebut.

Janji pemerintah bahwa Mandalika akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Lombok juga hanya manis di bibir. Riset INFID dan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur mengungkapkan bagaimana pengelola sirkuit lebih mengedepankan kepentingan komersial serta mengabaikan nasib masyarakat yang terkena dampak pembangunan. Tak hanya itu, banyak warga mengaku jumlah dana ganti rugi yang mereka terima dari Mandalika tak memadai untuk membiayai hidup sehari-hari. Sebagian bahkan belum dibayar.

Walhasil, akibat pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, jumlah masyarakat miskin di NTB justru bertambah. Warga kehilangan lahan pertanian, pekerjaan, dan rumah, sementara pekerjaan atau usaha baru belum ada. Karena ada kesenjangan keterampilan, banyak pengelola usaha memilih pekerja pendatang ketimbang warga setempat. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik sosial di kemudian hari.

Tak hanya itu. Dampak kerusakan lingkungan akibat Sirkuit Mandalika pun sudah di depan mata. Banjir, tanah longsor, dan hilangnya fungsi hutan akibat pengelolaan yang asal-asalan tinggal menunggu waktu. Yang pasti, hewan-hewan liar sekarang sudah berkeliaran di kawasan wisata dan permukiman karena hutan tempat tinggal mereka hilang.

Konflik sumber daya alam juga berpotensi terjadi karena tarik-menarik antara kepentingan pariwisata dan kebutuhan masyarakat. Sumber air, misalnya, disedot untuk kebutuhan hotel dan fasilitas wisata lain yang rakus air, sementara masyarakat berjibaku mendapatkan air untuk kebutuhan pertanian dan sehari-hari mereka. Masyarakat kehilangan kendali atas sumber daya alam karena kepemilikan dan pengelolaannya kini beralih ke pihak lain.

Semua masalah ini tampaknya tidak diantisipasi sejak awal dan tak ada pula solusi cepat yang memadai. Pembangunan Sirkuit Mandalika dan kawasan ekonomi khusus di sana terbukti hanya menguntungkan segelintir orang, mencekik badan usaha milik negara, dan merugikan masyarakat lokal. Tanpa perbaikan mendasar, Sirkuit Mandalika hanya akan menjadi monumen kegagalan pemerintahan Jokowi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus