Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL survei Kementerian Kesehatan RI terhadap program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang dilakukan di beberapa rumah sakit vertikal pada Maret lalu mengungkap fakta mengejutkan: sebanyak 22,4 persen dari 12.121 peserta PPDS yang disurvei mengalami gejala depresi. Kemudian, sebanyak 399 orang di antaranya memiliki keinginan mengakhiri hidup dalam dua pekan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dirinci dan diklasifikasikan sesuai dengan kondisi, dari peserta PPDS yang disurvei, sebanyak 1.977 orang mengalami depresi ringan, 486 orang mengalami depresi sedang, 178 orang mengeluh depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat. Dari sudut pandang kejiwaan, laporan ini bisa dipandang sebagai kabar buruk, kabar baik, sekaligus kabar biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa kabar buruk? Pertama, kita perlu mengenal lebih dulu apa itu depresi. Depresi adalah suasana perasaan yang menurun atau sedih yang bisa disertai dengan kehilangan minat pada hal-hal yang biasa dilakukan. Gangguan depresi sebagaimana yang dijelaskan dalam kriteria diagnosis di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) adalah adanya perasaan sedih dan atau kehilangan minat yang berlangsung terus-menerus selama minimal dua pekan.
Selain itu, depresi biasanya disertai dengan beberapa gejala lainnya. Misalnya kebutuhan tidur yang bertambah atau justru tidak bisa tidur dan nafsu makan meningkat atau menurun sehingga bisa terjadi peningkatan berat badan atau penurunan berat badan yang jelas, konsentrasi menurun, serta mudah lelah. Diagnosis depresi juga harus memenuhi kriteria lainnya, yaitu timbulnya penderitaan sehingga mengganggu fungsi sehari-hari individu penderitanya.
Kemudian, ada versi yang lain dari depresi, yakni dalam wujud kemarahan dan perilaku yang lebih impulsif yang disebut depresi agitatif. Belum lagi masalah dinamika proses psikologis yang mendasari terjadinya gangguan depresi yang merupakan interaksi dari aspek biopsikososial yang mendasarinya. Jadi, menentukan diagnosis ada atau tidaknya gangguan depresi bukanlah hal yang sederhana, melainkan memerlukan penelusuran yang lebih mendalam.
Adanya peserta PPDS yang teridentifikasi mengalami gejala depresi merupakan suatu kondisi yang tentu mengkhawatirkan karena bisa saja mengganggu kualitas hidup dan produktivitas mereka. Dampaknya bukan hanya kepada status mereka sebagai peserta didik, melainkan juga peran mereka sebagai kepala keluarga, suami atau istri, serta kolega atau teman kita. Terlepas dari faktor risiko yang mendasari gejala depresi tersebut, hal paling penting saat ini adalah bagaimana kita bisa membantu mereka yang merasakan adanya gejala depresi tersebut.
Pendekatan terhadap Peserta Didik
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi ini adalah perlu adanya imbauan dan pendekatan terhadap peserta PPDS. Mereka perlu didorong agar mau terbuka dan mencari bantuan dari psikiater atau psikolog. Imbauan ini dapat bersifat terbuka ataupun rahasia.
Pendekatan lain adalah memberdayakan teman sekelompoknya untuk melakukan pendekatan dan memberi dukungan personal agar mereka dapat menyelesaikan konflik yang terjadi atau mau mencari tenaga ahli yang bisa menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Bantuan tidak harus dari rumah sakit tempat mereka menjalani pendidikan, tapi bisa juga di tempat lain yang dirasakan nyaman oleh pihak yang bersangkutan. Selain itu, di fakultas kedokteran tempat mereka menjalani pendidikan, biasanya tersedia fasilitas untuk memberi dukungan psikososial atau fasilitas-fasilitas lainnya.
Dari perspektif lain, hasil survei Kemenkes ini juga merupakan berita baik, meski masih bersifat deteksi dini. Dalam survei ini, alat ukur yang digunakan adalah Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9). Alat ukur ini terdiri atas sembilan pernyataan dengan jawaban berupa skala "likert". Kuesioner ini sudah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Dari sembilan pernyataan tersebut, beberapa pernyataan berkaitan dengan gejala fisik. Misalnya merasa lelah/kurang bertenaga, kurang nafsu makan/nafsu makan berlebih, atau sulit konsentrasi.
Temuan survei ini perlu ditindaklanjuti dengan antisipasi agar kondisi peserta PPDS tidak berlanjut ke gangguan depresi. Laporan Kemenkes ini juga menjadi kabar bagus karena sudah mengangkat isu bahwa depresi memang ada di sekitar kita dan membuat kita menjadi lebih waspada serta saling mendukung.
Selain itu, pengelola pendidikan dokter spesialis/subspesialis perlu mengembangkan materi baru untuk membantu peserta didiknya agar dapat memiliki kemampuan resolusi konflik yang lebih baik. Peserta didik juga harus mampu mengembangkan keterampilan penyesuaian diri yang lebih baik, bukan hanya dalam menjalani pendidikan tapi juga dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Strategi ini bisa dijalankan, misalnya, melalui program kesehatan mental yang bersifat promotif, yakni program yang berorientasi menyeimbangan antara belajar, merawat pasien, kemampuan resiliensi, dan kehidupan sosial/keluarga. Dengan adanya keseimbangan antara kehidupan sosial dan kebutuhan pembelajaran, diharapkan peserta didik tidak terseret ke depresi dalam mengatasi permasalahan yang muncul selama menjalani pendidikan.
Bukan Kabar Mengejutkan
Hasil survei Kemenkes ini juga bisa dianggap sebagai kabar biasa. Hasil survei ini memperlihatkan bahwa peserta PPDS adalah manusia biasa. Mereka bukan manusia "super" yang hidup dalam komunitas berbeda. Mereka sekadar orang yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis atau subspesialis. Mereka bisa memiliki kerentanan biologis, perlu bertahan dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan seperti orang-orang pada umumnya.
Penelitian di Malaysia yang dipublikasikan dalam Asian Journal of Psychiatry pada 2021 juga menunjukkan hasil yang kurang-lebih sama. Penelitian dengan instrumen serupa dan subyek penelitian yang mirip itu memperlihatkan bahwa prevalensi depresi pada subyek penelitian mencapai 25,1 persen. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa jam kerja yang panjang serta keterbatasan waktu melakukan kegiatan yang menyenangkan ternyata berhubungan dengan gejala depresi yang dirasakan.
Penelitian serupa di dua kota besar di Cina menunjukkan angka yang lebih tinggi, yaitu sekitar 35 persen, terutama bagi peserta PPDS pada tahun pertama pendidikannya. Gejala depresi mereka berhubungan dengan adanya riwayat depresi sebelumnya, masalah keluarga, atau kekhawatiran mengenai kekerasan di tempat kerja. Jadi hasil survei Kemenkes RI mengenai adanya gejala depresi pada PPDS bukanlah berita yang mengejutkan.
Gejala depresi merupakan masalah kesehatan jiwa dengan proporsi cukup tinggi pada peserta pendidikan dokter spesialis di negara lain. Salah satu faktor penyebabnya adalah biasanya peserta PPDS berada pada rentang usia 27-35 tahun, yang dianggap periode kritis. Disebut demikian karena pada umumnya pada periode tersebut setiap individu sedang berusaha untuk mencari pasangan hidup yang tepat, karier yang diinginkan dan sesuai dengan cita-cita, serta sedang berupaya membagi waktu demi memenuhi kebutuhan untuk mempelajari pengetahuan baru sekaligus kebutuhan personalnya.
Apa pun pandangan atas laporan Kemenkes ini, potensi depresi selalu ada dan mengintai kehidupan kita. Jika kita semua, termasuk peserta PPDS, tidak menyadari pentingnya keseimbangan dalam hidup, kita bisa mengalami gejala depresi. Saatnya kita lebih membuka mata, hati, dan telinga untuk bisa saling mendukung, mendengar, merasakan, serta menjadi pendukung bagi orang di sekitar agar bisa menjadi lebih sehat jiwa. Hal ini penting dilakukan karena tiada kesehatan fisik tanpa kesehatan mental.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.