Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Merawat Demokrasi Kita

Setiap pilihan demokrasi tentu memiliki suatu konsekuensi yang harus ditanggung.

22 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kardiansyah Afkar
Penggiat Hukum Tata Negara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap pilihan demokrasi tentu memiliki suatu konsekuensi yang harus ditanggung. Misalnya, Indonesia memilih konsep demokrasi langsung. Dengan desain pemilu secara serentak seperti sekarang ini, konsekuensinya adalah demokrasi berbiaya mahal dan proses pemilu (proses pemungutan suara dan rekapitulasi suara) memakan waktu yang lama. Banyaknya anggota KPPS yang meninggal dunia tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan dalam berdemokrasi, tapi sebuah musibah. Suatu demokrasi dapat dikatakan gagal apabila demokrasi tersebut mengalami kebuntuan atau kebekuan dalam prosesnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjaga atau merawat demokrasi dalam suatu negara bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan agar tatanan politik demokrasi suatu negara tetap berada di jalurnya, yaitu sesuai dengan aturan hukum dan konstitusi serta nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, untuk merawat demokrasi, ada dua tahapan yang dapat dilakukan, yaitu tahapan sebelum pemilu dan sesudah pemilu.

Pada tahapan sebelum pemilu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, proses untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden oleh internal partai politik atau koalisi partai. Partai berperan penting sebagai pintu gerbang penjaga demokrasi dari calon-calon presiden yang memiliki karakter otoriterianisme atau ekstremis yang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Partai dituntut untuk menghadirkan figur-figur politikus dan calon presiden/wakil presiden yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Artinya, partai perlu menjaga jarak dari figur politikus yang ekstremis ataupun otoriter, walaupun mereka dapat mendongkrak perolehan suara partai.

Kedua, menolak partai yang anti-demokrasi. Partai anti-demokrasi jelas merupakan ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi suatu negara. Misalnya, di Swedia, pada 1930-an, terdapat Organisasi Pemuda Nasionalis Swedia, yang merupakan organisasi sayap Partai Konservatif Swedia (AVF). Tapi organisasi sayap tersebut secara terang-terangan menyatakan anti-demokrasi. Hal tersebut ditanggapi oleh AVF dengan mengeluarkannya dari struktur kepartaian karena dianggap sebagai ancaman besar bagi demokrasi Swedia.

Di Swedia, segala bentuk organisasi dan partai politik yang anti-demokrasi tidak akan mendapatkan ruang politik dalam pemerintahan. Apabila ada partai yang terindikasi anti-demokrasi dan memiliki figur politik dalam kontestasi pemilu, semua partai pro-demokrasi akan berkoalisi walaupun mereka berbeda ideologi politik. Koalisi partai rela mengorbankan kepentingan politiknya hanya untuk merawat dan menjaga keberlangsungan demokrasi agar tidak dikendalikan oleh pemimpin yang anti-demokrasi (otoriter).

Di Indonesia, tatanan demokrasi yang dibangun ialah demokrasi langsung dengan sistem pemerintahan presidensial. Artinya, tatanan politik negara dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, dengan presiden/wakil presiden dan anggota parlemen dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini dimaksudkan agar presiden/wakil presiden terpilih tidak mudah dimakzulkan karena alasan politik. Alasan untuk menjatuhkannya adalah bila presiden melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, seperti melakukan perbuatan tercela, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan pengkhianatan terhadap negara (vide Pasal 7A UUD 1945).

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) dalam buku How Democracies Die menyatakan agar tatanan demokrasi suatu negara dapat tetap terawat, sebaiknya memperhatikan empat tanda peringatan perilaku politikus yang dapat mengancam demokrasi. Tanda itu adalah menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata atau perbuatan, menyangkal kemenangan legitimasi lawan, memberi toleransi dan menyerukan kekerasan, serta menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan politiknya. Menurut dia, apabila seorang kandidat presiden/wakil presiden dan politikus memenuhi salah satu dari empat perilaku tersebut, hal itu sudah menjadi ancaman terhadap tatanan politik demokrasi suatu negara.

KPU telah mengumumkan bahwa Joko Widodo-Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden-wakil presiden melalui pemilu. Namun kemenangan tersebut mendapat penyangkalan dari kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Selain itu, ancaman terhadap demokrasi terlihat dari sikap politik mereka yang ingin menolak hasil pemilu karena alasan kecurangan selama proses pemilu. Bahkan ada upaya-upaya untuk membajak hasil pemilu dengan gerakan yang mengatasnamakan kehendak seluruh rakyat (people power). Secara tidak langsung, gerakan tersebut tentu merupakan suatu bentuk penolakan terhadap aturan main demokrasi yang mengarah pada pelemahan demokrasi dan lembaga-lembaga penyelenggaranya (KPU dan Bawaslu).

Jika dilihat dari cara para politikus dan elite politik berdemokrasi akhir-akhir ini, dapat dikatakan tatanan politik demokrasi kita sedang mengarah pada kematian. Karena itu, marilah kita merawat dan menjaganya melalui rekonsiliasi politik secara damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus