Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Merawat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Masyarakat, terutama pemerhati lingkungan, dikagetkan dengan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution yang mengungkapkan bahwa beberapa pengusaha mebel kayu dan rotan mengusulkan agar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak diberlakukan untuk produk yang akan diekspor ke negara yang tidak meminta verifikasi.

20 September 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diah Y. Suradiredja
Mantan Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat, terutama pemerhati lingkungan, dikagetkan dengan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution yang mengungkapkan bahwa beberapa pengusaha mebel kayu dan rotan mengusulkan agar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak diberlakukan untuk produk yang akan diekspor ke negara yang tidak meminta verifikasi. Bila diterapkan, kebijakan itu mengabaikan perjuangan Indonesia untuk keluar dari stigma sebagai negara yang buruk dalam pengelolaan sumber daya hutan, negara yang tidak peduli terhadap kelestarian hutan, dan ramai dengan pembalakan liar. Hal ini berdampak pada terjadinya "boikot" terhadap produk-produk perkayuan yang diperdagangkan di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SVLK dilahirkan sebagai sebuah sistem yang memastikan penjaminan legalitas kayu Indonesia yang dikelola dari hutan lestari. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang SVLK didasari tiga prinsip: tata kelola, keterwakilan, dan keterbukaan.

Tidak benar bahwa SVLK adalah "pesanan asing". Sejak awal, SVLK adalah pendekatan untuk menegakkan tata kelola kehutanan yang baik, yang dibangun di tengah-tengah kerisauan akan buruknya sistem tata usaha kayu yang berasal dari kawasan hutan negara di pasar kayu, baik yang berorientasi ekspor maupun domestik.

SVLK diciptakan untuk mengatasi masalah tata usaha kayu yang buruk. Empat ranah yang parah dan hendak dibenahi adalah (1) proses dan dokumen perizinan, (2) koordinasi dan hubungan kelembagaan terkait dengan data rekonsiliasi kayu dari pembalakan liar hingga pajak negara, (3) mekanisme gugatan sebagai instrumen tanggung-gugat dalam sistem yang terpadu, serta (4) transparansi data dan informasi sektor kehutanan, perdagangan, perindustrian, dan bea cukai. Untuk menjamin independensi dan akuntabilitas, verifikasi dilakukan oleh lembaga independen, yaitu Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu, yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional.

Lembaga swadaya masyarakat di bidang kehutanan dan masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi unit manajemen yang diverifikasi menjadi lembaga pemantau independen. Mereka dapat mengajukan keberatan kepada pihak-pihak yang ditunjuk dalam penyelesaian keberatan.

Dari keseluruhan rantai pasok, industri kecil dan menengah berperan penting, terutama industri skala rumah tangga yang banyak terdapat di beberapa sentra produksi, seperti Jepara dan Yogyakarta. SVLK melindungi kepastian berusaha mereka. Sistem ini memaksa pemerintah daerah memberikan pelayanan yang cepat dan mudah dalam proses perizinan usaha kecil. Mereka "jemput bola" melalui Klinik SVLK agar terlepas dari jeratan mafia izin yang lama melekat pada jaringan tata niaga usaha mebel dan kayu. Bahkan pemerintah mempermudah dengan kebijakan deklarasi kesesuaian pemasok (DKP) yang meringankan industri kecil memenuhi SVLK dan bisa mengekspor menggunakan dokumen DKP.

Dalam kurun waktu 10 tahun, SVLK telah meningkatkan daya saing produk dari sisi legalitas sehingga dapat memenuhi tuntutan legalitas di pasar. SVLK diposisikan sebagai "merek nasional" produk perkayuan Indonesia. Dengan SVLK, produk perkayuan Indonesia menempati posisi baru sebagai produk legal yang diproduksi dari hutan yang dikelola secara lestari. Ini membuat produk perkayuan Indonesia dapat memasuki pasar-pasar yang mensyaratkan legalitas tanpa perlu uji kelayakan lagi.

SVLK telah mendapat pengakuan dari dua pasar yang mensyaratkan legalitas, yaitu Australia dan Uni Eropa. Sampai saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sudah memperoleh lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade dari Uni Eropa di antara 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks Voluntary Partnership Agreement untuk mendapatkan lisensi tersebut.

Ekspor industri mebel Indonesia terus memperlihatkan tren peningkatan. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, pada 2016, nilai ekspornya US$ 1,60 miliar, naik menjadi US$ 1,63 miliar pada 2017, dan terus naik menjadi US$ 1,69 miliar pada 2018. Ekspor mebel pada 2019 diprediksi tumbuh pada kisaran 10-15 persen. Pertumbuhan itu salah satunya disebabkan oleh meningkatnya permintaan pasar Amerika seiring dengan bergulirnya perang dagang.

Usulan pelaku usaha mebel kayu dan rotan untuk menghapus SVLK pada industri kecil dan menengah serta tidak diberlakukan bagi produk yang diekspor ke negara yang tidak memberlakukan verifikasi kayu sangatlah tidak tepat.

Perizinan itu mereka anggap sebagai kendala. Persoalan tersebut sebenarnya terjadi hanya kepada beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker ekspor sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK.

Dalam kurun 10 tahun, hambatan implementasi SVLK, terutama bagi bisnis kecil dan menengah yang berkaitan dengan pemenuhan standar legalitas dan biaya sertifikasi, sepatutnya diatasi melalui bantuan pendampingan dan pembiayaan sertifikasi oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya sebagaimana yang telah bergulir selama ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus