Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Merdeka Belajar, Link and Match, dan Ekosistem Vokasi

Sempat cukup lama tidak terdengar, sekarang slogan ini seolah muncul kembali dengan semangat baru. Berbagai pihak kemudian bahkan mengaitkannya dengan Merdeka Belajar.

31 Mei 2022 | 19.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Link and Match bukanlah lagu baru dalam panggung pendidikan vokasi di Indonesia. Terminologi ini setidaknya sudah berusia hampir tiga dekade sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Wardiman Djojonegoro memperkenalkannya pada 1993. Secara konseptual link and match dimaknai sebagai adanya link (pertautan) antara dunia pendidikan dan dunia industri sebagai pengguna lulusan dan “match” (kesesuaian atau kecocokan) antara capaian pembelajaran dengan kebutuhan keterampilan para lulusan ketika mulai bekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sempat cukup lama tidak terdengar, sekarang slogan ini seolah muncul kembali dengan semangat baru. Berbagai pihak kemudian bahkan mengaitkannya dengan Merdeka Belajar, sebuah inisiatif kebijakan cukup mendasar yang diusung oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Pertanyaannya kemudian, apa hubungan antara Link and Match dengan Merdeka Belajar, atau lebih spesifik lagi mengapa kemudian muncul persepsi implisit seolah Merdeka Belajar memberikan gairah baru bagi upaya dan harapan yang terkandung dalam Link and Match? Sebelum mengupas lebih lanjut ada baiknya kita lihat secara cepat evolusi konsep ini yang terjadi sejak 1990an lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinamika Kebijakan dan Kinerja Pendidikan Vokasi

Implementasi konsep Link and Match era 1990an diwujudkan dalam pendidikan sistem ganda (dual system) yang melibatkan proses pembelajaran di sekolah dan pemagangan di industri. Kala itu kesan yang mengemuka lebih bersifat statis, meski perubahan teknologi di tempat kerja sudah terjadi cukup cepat. Kini, dengan perubahan teknologi terjadi lebih paradigmatis dan dengan laju yang jauh lebih cepat, konsep link and match pun seakan menyesuaikan, dan tetap relevan.

Dalam paparannya di Universitas Negeri Surabaya, Prof. Wardiman Djojonegoro menekankan pentingnya meletakkan konsep link and match dalam konteks globalisasi (Republika, 19 Desember 2008). Terkait dengan dinamika lingkungan yang berubah lebih cepat serta pentingnya sebuah sekolah lincah dalam merespons dinamika lingkungan strategisnya, beliau menambahkan pentingnya otonomi yang wajar dapat bertindak secara independen untuk menyesuaikan diri dengan kondisi setempat.

Meski implementasi di lapangan mengesankan adanya pasang-surut, tetapi kebijakan Link and Match yang dicanangkan pada 1993 belum pernah dicabut, dan dalam berbagai narasi kebijakan pendidikan vokasi masih dipertahankan. Namun demikian, sebagaimana kita semua sadari kinerja sistem pendidikan vokasi kita masih belum memuaskan semua pihak.

Chapeau Paper (Maret 2019) sebuah laporan kajian singkat namun cukup komprehensif yang dilakukan dalam rangka Program TVET Sector Reform. Kala itu dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam kajian itu terungkap bahwa angka pengangguran terbuka (APT) di antara lulusan pendidikan vokasi baik Sekolah Menengah Kejuruan (11,24%) dan Akademi dan Program Diploma (6,02%) lebih tinggi dibanding APT lulusan Sekolah Menengah Umum (7,95%) dan lulusan universitas (5,89%). Kesemuanya merupakan APT pada Agustus 2018.

Angka-angka yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk 2021 menunjukkan perbaikan di antara lulusan perguruan tinggi vokasi. Tetapi kinerja pasar kerja lulusan SMK masih tertinggal dari lulusan SMA. Statistik ini mengungkap sebuah ironi bahwa jalur pendidikan yang didisain dan diselenggarakan untuk menciptakan lulusan terampil dan siap kerja malah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan.

Mengapa semua ini terjadi? Survei perusahaan yang dilakukan oleh Analytical and Capacity Development Partnership, sebuah unit dukungan teknis di Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Kebudayaan pada 2015 menunjukkan adanya mismatch yang cukup serius antara pasokan dan permintaan keterampilan. Lebih dari 80%responden mengatakan sangat mudah mendapatkan pelamar untuk setiap lowongan kerja yang mereka buka. Namun, sangat sulit menemukan tenaga kerja yang sesuai kriteria.Yang tidak kurang memprihatinkan adalah lebih dari 20%responden memilih membiarkan lowongannya kosong dan menunda perluasan kapasitas ketika tidak menemukan tenaga kerja yang dipandang cocok.

Temuan survei di mana perusahaan memilih membiarkan kosong lowongan yang tidak menemukan tenaga yang tepat,sekaligus mengungkap masih rendahnya kesadaran di antara pelaku industri akan pentingnya mereka mendidik dan melatih tenaga terampil. Temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian lebih baru yang dipaparkan oleh Prof. Stefan Wolter dalam Webinar Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perindustrian pada 17 Mei 2022.

Kenyataan pahit tingginya APT di antara lulusan pendidikan vokasi mendorong ide revitalisasi yang dikemas dalam sebuah Instruksi Presiden No. 9/2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Instruksi Presiden yang berisi rumusan tugas yang cukup spesifik bagi para menteri dan pimpinan lembaga demi meningkatkan efektivitas pendidikan vokasi ini, nampaknya juga belum mampu berdiri sendiri untuk mengubah keadaan secara cepat.

Sebuah upaya bedah permasalahan yang dilakukan oleh Program TVET Sector Reform lebih dari tiga tahun lalu,menemukan berbagai permasalahan kebijakan dan kelembagaan, khususnya peraturan perundangan, yang kurang selaras satu sama lain. Contoh paling nyata adalah pesan-pesan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki berbagai implikasi teknis dan lapangan di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi yang kurang selaras satu sama lain.

Pesan paling tegas dari kajian tersebut adalah pentingnya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi yang terintegrasi serta berada dalam sebuah ekosistem. Pelatihan yang terintegrasi dalam sebuah ekosistem dikendalikan dan diawasi oleh sebuah sistem pengendalian/pengawasan tunggal (single oversight system). Ini merupakan kunci untuk meningkatkan efektivitas sistem vokasi nasional.

Membangun Ekosistem Vokasi

Kebijakan Link and Match dapat dilihat sebagai upaya membangun ekosistem pendidikan vokasi dengan mengintegrasikan kedua sisi supply and demand, sekolah dan industri, antara pemasok lulusan dan penerima lulusan. Perluasan konseptual dengan menambahkan otonomi di tingkat lembaga penyelenggara, sekolah dan perguruan tinggi, untuk membuatnya lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika pasar kerja pun secara bertahap sudah diimplementasikan di lapangan. Pertanyaannya kemudian, dengan semuanya ini mengapa hingga kini kinerja pasar kerja lulusan vokasi masih belum menggembirakan kita semua? Lantas, inisiatif kebijakan dan program apa lagi yang kita butuhkan?

Merujuk pada pesan Chapeau Paper yang merupakan salah satu laporan awal Program TVET Sector Reform, pertama-tama pendidikan vokasi tidak boleh dilihat dan diselenggarakan secara terpisah dari jalur pembelajaran keterampilan lainnya, termasuk pembelajaran di industri dan pembelajaran melalui jalur pelatihan. Pembelajaran vokasi di sekolah, pembelajaran vokasi melalui pelatihan, dan pembelajaran vokasi di industri harus boleh berinteraksi satu sama lain dalam sebuah ekosistem dengan “sistem nilai yang sama”.

Ketika kita menengok pengalaman baik di negara-negara yang sudah berhasil sistem vokasinya, seperti Australia dan Jerman, dan bahkan Filipina, itulah praktik yang mereka jalankan. Dengan demikian, kita perlu melakukan perubahan pendekatan yang paradigmatis dan khususnya berhenti mengisolasi jalur pendidikan dan jalur pelatihan, melalui membuka interaksi yang saling mengisi. Dengan arsitektur yang lebih terbuka seperti ini, kita akan membuka peluang individu tenaga kerja menempuh trajektori pembelajaran dan peningkatan diri melalui kesemua jalur secara produktif dan efisien.

Ketika diletakkan dalam konteks upaya revitalisasi, khususnya mendobrak kekakuan dan isolasi antarjalur pembelajaran ini, kebijakan Merdeka Belajar memiliki peran sentral. Merdeka Belajar “Vokasi” memungkinkan kita melakukan akreditasi terhadap hasil pembelajaran lintas jalur. Memungkinkan sertifikasi berfokus pada kompetensi dengan acuan kualifikasi yang sistematis dan kredibel. Dengan interaksi produktif antara jalur pendidikan, jalur pelatihan, dan jalur pembelajaran di industri baik magang maupun karir, maka Sistem Vokasi Nasional atau National Skill Imparting System kita akan menjadi jauh lebih efisien, produktif, sekaligus kredibel.

Penutup

Berbagai upaya pada tingkat kebijakan dan program serta kelembagaan, telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan kredibilitas sistem vokasi nasional kita. Saat ini, dengan Merdeka Belajar sebagai paradigma baru, telah mendobrak isolasi antarjalur. Ketika kesadaran dan langkah-langkah aktif dunia usaha dan industri sedang giat-giatnya mendukung upaya pemerintah merevitalisasi vokasi, sebagai momentum sangat besar untuk bergerak maju dengan cepat.

Terbitnya Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, harus menjadi “roket pendorong” yang kuat upaya revitalisasi. Perpres sekaligus mengamanatkan pembentukan “Tim Koordinasi Nasional Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi”. Mudah-mudahan ini menjadi embrio bagi pengembangan Sistem Pengendalian dan Pengawasan Tunggal (Single Oversight System) yang merupakan salah satu kunci utama keberhasilan sistem vokasi di berbagai negara.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus