Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang Betawi beli ketupat, digondol kucing bermata satu. Meski hati tidak mantap, mari coblos salah satu.
Pantun ini, sayangnya, tak dijumpai pada spanduk di jalan-jalan Ibu Kota, baik dibuat oleh tim kampanye kedua calon gubernur maupun oleh pihak lain, yang netral atau yang sekadar iseng. ”Perang spanduk” memang begitu dahsyat. Pendukung Adang Daradjatun maupun pendukung Fauzi Bowo seperti tak kehabisan ide untuk menulis panduk, dan juga tak kurang akal dalam memasangnya. Banyaknya spanduk membuat Jakarta jadi jemuran massal. Tapi kita bisa tersenyum karena kreativitas orang Betawi (atau penduduk pendatang?) berpantun lewat spanduk yang begitu tinggi. Banyak yang lucu, meski saling sindir.
Kini kampanye sudah berlalu. Kedua calon sudah melemparkan janji-janji. Kedua pasangan, misalnya, prihatin terhadap kemacetan lalu lintas di Ibu Kota, tetapi kampanye mereka sendiri malah membuat warga Ibu Kota kesal, jalanan semakin macet. Kedua pasangan bertekad memperluas lapangan kerja, dan janji ini tentu sudah terwujud pada masa kampanye. Ribuan orang Jakarta bekerja keras dan mendapat rezeki. Ada yang membuat spanduk, membuat stiker, jadi bintang iklan, jadi koordinator pawai, termasuk membuat tabloid yang menjelek-jelekkan pihak lawan. Apakah lapangan kerja akan semakin banyak dan terbuka setelah gubernur baru terpilih, sebaiknya hal itu dijadikan sebuah harapan, sebelum kecewa berat.
Janji untuk pelayanan publik pun tak kalah seru dan hampir tak masuk akal. Misalnya membuat kartu penduduk hanya butuh waktu lima menit, dihitung dari mana? Mencari tempat parkir di kantor kelurahan saja sulitnya bukan main, belum lagi menunggu petugas yang sering berdalih ”dipanggil atasannya”. Mengatasi banjir, pedagang kaki lima, dan berjubel masalah ”orang kecil”, konsepnya masih menggantung sebagai teori, sulit dilaksanakan di lapangan.
Tetapi begitulah, miliaran rupiah dihabiskan untuk menebar janji. Padahal, menurut survei, warga Jakarta tidak terpengaruh oleh kampanye. Boleh saja Bajuri dan semua koleganya berteriak mengajak mencoblos Adang, penonton televisi hanya tertawa menatap karakter konyol Mat Solar, pemeran Bajuri itu. Tatkala Si Doel muncul mengajak mencoblos Fauzi Bowo, pemirsa lebih yakin bahwa Rano Karno dibayar mahal untuk iklan itu. Apakah itu Rano Karno, Mat Solar, Lydia Kandou, Nani Wijaya, atau tokoh sekaliber Megawati sekalipun yang muncul berkampanye, pemirsa televisi tak akan ”berpaling ke lain hati”. Jadi, miliaran rupiah habis untuk kesia-siaan.
Masih perlukah kita mencoblos dengan keterbatasan calon ini? Tentu saja. Ini tak sekadar memenuhi imbauan Gubernur Sutiyoso agar masyarakat menggunakan hak pilihnya, tetapi lebih pada fakta yang ada: memang sebatas ini pilihan yang tersedia. Tidak memilih, meski itu juga ”sebuah pilihan”, bukanlah keputusan yang bijak. Jakarta harus punya gubernur, dan gubernur terpilih sebaiknya menang dengan suara meyakinkan. Bukan menang karena suaranya lebih besar dari lawan tetapi dengan persentase yang sama-sama kecil. Apalagi kalau angka ”golput” ternyata lebih besar dari perolehan masing-masing calon, hal itu akan membawa dampak psikologis bagi gubernur baru.
Warga Jakarta belum beruntung melahirkan calon independen. Jadi pasrah dan santai saja. Ikan kembung ikan tongkol, lebih enak makan pete. Jangan bingung jangan dongkol, pilih Adang atawa Foke terserah ente.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo