Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagalnya Konferensi Perubahan Iklim Ke-25 di Madrid, Spanyol, pekan lalu, merumuskan dokumen operasional untuk melaksanakan Perjanjian Paris mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah dan elite politik dunia dalam mengatasi bahaya pemanasan global. Kenyataan ini sungguh ironis mengingat kepedulian publik terhadap ancaman krisis iklim belakangan justru meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa peraturan pendukung yang jelas, pemberlakuan Perjanjian Paris pada 2020 terancam gagal. Tak tuntasnya pembahasan di Konferensi Madrid membuat berbagai skema perdagangan karbon dan mekanisme kerja sama internasional untuk bersama-sama menurunkan emisi karbon dunia tak bisa mulai dirumuskan. Alotnya negosiasi 197 negara peserta konferensi menandakan mitigasi perubahan iklim belum menjadi prioritas utama semua negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak terkecuali Indonesia. Padahal hasil Konferensi Madrid ini jelas merugikan pemerintah. Target Presiden Joko Widodo mengurangi emisi sebesar 41 persen-atau sama dengan 1,081 gigaton setara karbon-dengan bantuan internasional pada 2030 terancam gagal tanpa skema finansial yang jelas di tingkat global.
Karena itu, sungguh disayangkan pemerintah Indonesia tak menyampaikan rencana aksi yang lebih konkret dan ambisius di Madrid. Target Indonesia menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030 tanpa bantuan internasional pun tak diperbarui sama sekali. Padahal target itu sudah ditetapkan sejak awal pemerintahan Jokowi tiga tahun lalu.
Tanpa komitmen yang tegas dan rencana yang matang, tak aneh jika banyak orang pesimistis Indonesia bakal mencapai target penurunan emisi sesuai dengan rencana. Apalagi posisi Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar keempat di dunia terutama didorong dua faktor: kebakaran hutan yang dipicu perluasan perkebunan sawit dan penggunaan energi berbasis fosil seperti batu bara. Bukan kebetulan jika keduanya merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia.
Inkonsistensi ini merupakan hambatan utama dalam strategi mitigasi perubahan iklim pemerintah. Di satu sisi, pemerintah berjanji menambah porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran sumber energi nasional, tapi pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara terus dilakukan. Ketika banyak negara meninggalkan energi fosil, pemerintah malah kian terus menggenjot konsumsi batu bara di dalam negeri.
Soal sawit juga demikian. Pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit jelas-jelas memperparah rekam jejak kita tentang emisi karbon. Laju hilangnya hutan di Indonesia sudah sangat parah, dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektare per tahun. Namun, ketika Uni Eropa mengingatkan dan mengancam menutup pasarnya dari ekspor sawit Indonesia, pemerintah malah mendorong penggunaan sawit untuk bahan bakar kendaraan bermotor di dalam negeri.
Sikap plintat-plintut semacam ini merugikan rakyat. Banyak warga kita yang sudah menjadi korban cuaca yang terus berubah, juga kenaikan suhu dan permukaan laut. Sudah saatnya pemerintah satu suara soal mitigasi perubahan iklim. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jelas tak bisa menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengenai penurunan emisi. Ini persoalan besar yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Presiden Jokowi harus turun tangan langsung dan menjadi panglima dalam program pengurangan emisi. Tanpa komitmen dan dukungan dari kepala negara, pemenuhan target penurunan emisi akan selamanya jauh panggang dari api, muskil tergapai.