Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Semua calon presiden menawarkan misi untuk mengatasi masalah pangan.
Gagasan ideal itu berhadapan dengan berbagai masalah kebutuhan pangan Indonesia.
Perlu komitmen serius dan peta jalan pangan lokal nonberas yang berkelanjutan..
Sunardi Siswodiharjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perekayasa pangan alumni Program Doktor Manajemen Agribisnis UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontestasi pemilihan presiden 2024 sudah dimulai. Tiga pasangan calon presiden-wakil presiden telah menyampaikan visi dan misi masing-masing. Isu pangan, komoditas yang selama ini sarat dengan dimensi politik, menjadi salah satu sorotan mereka. Anies Baswedan datang dengan kemandirian pangan, Ganjar Pranowo mengusung kedaulatan pangan, dan Prabowo Subianto mantap dengan swasembada pangan. Sampai di titik ini, semua calon tampak ideal dalam mengangkat isu pangan, tapi apakah misi mulia tersebut akan terwujud?
Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa saat ini pemerintah seolah-olah sedang ”terbelenggu” ketika tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai titik tertinggi sebesar 98,35 persen. Artinya, 98,35 persen rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras (Survei Sosial Ekonomi Nasional, September 2022).
Tingkat partisipasi konsumsi beras yang hampir 100 persen ini menempatkan beras sebagai komoditas pangan yang memiliki sensitivitas sangat tinggi. Selain itu, ia rentan memunculkan masalah sosial dan politik bila harga beras naik dan bahkan bisa benar-benar terjadi kekacauan jika beras langka di pasar. Sejarah mencatat bahwa kelangkaan stok beras yang membuat melonjaknya harga beras pada 1966 dan 1998 menjadi salah satu penyebab keparahan krisis ekonomi, sosial, dan politik yang berujung pada jatuhnya pemerintahan serta pergantian presiden.
Untuk belenggu terigu, menurut World Instant Noodles Association (WINA) (2022), masyarakat Indonesia mengkonsumsi mi instan sebanyak 14,3 miliar porsi, terbesar kedua di dunia setelah Cina. Bahan baku utama mi instan adalah tepung terigu, yang gandumnya 100 persen impor. Jenis pangan ini sangat rapuh dan sama sekali tidak berkelanjutan karena ketergantungan penuh pada negara-negara eksportir, yang rawan terkena dampak perubahan iklim dan geopolitik. Jika terjadi gangguan pada sistem produksi dan distribusi, dampaknya akan terasa sangat serius.
Seharusnya pangan lokal nonberas, yang sudah terbukti lebih tahan terhadap krisis ekonomi ataupun pandemi, kembali dihidupkan. Jika tidak dilakukan, para calon presiden dan rakyat Indonesia akan terus dibelenggu oleh beras dan terigu. Menurut Undang-Undang Pangan, pangan lokal merupakan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Sejauh ini, peta jalan pangan lokal nonberas yang disusun Kementerian Pertanian belum memberikan hasil yang signifikan. Pangan lokal, seperti sagu, sorgum, jagung, dan singkong, bahkan terasa makin tersingkir, masih sangat lekat dengan kesan inferior dan kemiskinan.
Penurunan tingkat konsumsi beras justru bergeser ke makanan berbasis terigu. Raksasa produsen makanan telah berhasil merekayasa beragam pangan dari terigu menjadi pangan yang sangat lezat, murah, mudah didapat, dan sesuai dengan selera masyarakat luas. Semua keunggulan tersebut sama sekali tidak dimiliki pangan lokal, kecuali beberapa manfaat ekstra seperti serat, indeks glikemik, dan antioksidan.
Agar masyarakat mau beralih dari dominasi pola diet beras-terigu ke pangan lokal, diperlukan komitmen politik, dukungan kebijakan anggaran yang memadai, dan keberpihakan penuh pada kepentingan dalam negeri. Kebijakannya harus bersifat hulu-hilir, tidak berubah-ubah, dan terus-menerus, bukan kebijakan yang sekadar bersifat seruan atau seremonial belaka, seperti program "one day no rice" dan sejenisnya.
Salah satu bentuk keseriusan untuk mewujudkannya adalah melalui penerapan kebijakan fiskal yang mumpuni. Caranya dengan menaikkan tarif bea masuk gandum ke Indonesia, yang masih termasuk yang terendah di dunia, yaitu hanya 5 persen. Sekadar ilustrasi, Turki, Cina, dan Thailand berturut-turut mematok bea masuk gandum sebesar 82 persen, 71 persen, dan 40 persen (Muhandri, 2020). Uangnya dapat digunakan untuk mensubsidi program diversifikasi pangan pokok lokal yang pernah sukses, yaitu modified cassava flour (mocaf), produk turunan tepung singkong. Industri mocaf sedang mati suri karena harganya tidak kompetitif sehingga kalah bersaing dengan terigu.
Sebenarnya masih banyak wujud keseriusan lain yang nantinya bisa dilakukan oleh presiden, seperti kredit dengan bunga rendah, alokasi anggaran di APBN, beragam subsidi pertanian, dan pajak. Semuanya bertujuan untuk mendukung kembalinya aneka pangan lokal nonberas, pangan masa depan Indonesia, pangan yang berkelanjutan, meskipun harus melalui titian jalan yang terjal.
Pertanyaannya, bernyalikah para calon presiden (ideal) ini menerapkannya secara serius setelah terpilih nanti?
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo