Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Monumen

Bapak tak dimakamkan di Taman Pahlawan. Ibu dan kami, anak-anaknya, tak berkeberatan.

19 November 2019 | 07.00 WIB

Monumen
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bapak tak dimakamkan di Taman Pahlawan. Ibu dan kami, anak-anaknya, tak berkeberatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mungkin karena kami paham: pegawai yang mengurus soal ini-yang punya kriteria tentang siapa yang patut dikuburkan di sana dan kemudian menelaah dokumen yang biasanya tersisa sedikit dari masa lalu yang dilanda perang-tak tahu-menahu tentang Bapak. Dan itu lumrah: beribu-ribu orang dipenjarakan pemerintah kolonial Belanda, banyak yang dibuang ke Digul di tahun 1920-an, dan di tahun 1940-an, dalam masa Perang Kemerdekaan, entah berapa yang dieksekusi ketika tentara Belanda menyerbu dan menduduki wilayah Republik. Bapak bukan orang istimewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya, si bungsu, dan baru hampir enam tahun ketika Bapak ditembak mati, tak pernah diajak berembuk tentang perkara ini. Saya hanya punya dugaan: Bapak tak dimakamkan di Taman Pahlawan karena Ibu tak mau datang ke kantor pemerintah-entah yang mana-untuk mengurus pemindahan makam. Mungkin bagi Ibu, itu sama halnya minta Negara memberi stempel "pahlawan" untuk suaminya. Dan itu memalukan, atau tak cocok dengan pedoman orang Jawa tentang perlunya sepi ing pamrih. Atau ada alasan yang sederhana, sentimental, tapi berarti: Ibu, yang bersama Bapak dibuang di Digul, ingin, ketika ia wafat, dimakamkan bersebelahan dengan Bapak di pekuburan yang tak mencolok itu. Atau semata-mata Ibu tak mau repot; toh di dalam kubur itu yang wafat sudah tak bisa lagi dibedakan dengan tanah. Almarhum hanya spesial dalam ingatan dan imajinasi.

Lagi pula, apa arti sebuah makam pahlawan?

Saya selalu menganggap pahlawan tak pernah ada. Yang ada-dan lebih berarti ketimbang pahlawan-adalah laku kepahlawanan: perbuatan yang tak memikirkan keselamatan dan kelanjutan hidup diri sendiri ketika ingin menyelamatkan orang lain. Laku itu sangat langka dan tak dengan sendirinya melekat pada diri seseorang.

Juga tindakan heroik tak pernah datang dari langit. Ia sebuah klimaks dari proses yang disiapkan orang-orang lain: tauladan pengorbanan diri dalam pelbagai peristiwa sejarah, nilai-nilai yang ditularkan dari generasi ke generasi, pelbagai ungkapan yang dibangun dan dijunjung kawan-kawan seperjuangan.

Pemuda yang di tengah ketegangan Kota Surabaya Oktober 1945 merobek Merah-Putih-Biru dan mengubahnya jadi bendera Merah-Putih di atap Hotel Yamato melakukan sesuatu yang bukan ekspresi individual. Tindakannya didahului pertemuan-pertemuan terbuka atau setengah terbuka para aktivis, rombongan pejuang yang membawa Merah-Putih di Tambaksari, dan ratusan yang bersiap di Jalan Tunjungan. Bendera itu sebuah simbol; sebuah simbol adalah produk kesepakatan orang banyak.

Bapak juga melakukan yang ia rasa perlu dilakukan karena ia seorang penerus. Saya kira ia siap dipenjara, dibuang, dan kemudian dieksekusi karena ia tak sendirian: ia membaca tulisan Bung Karno, Tjokroaminoto, Tan Malaka, Marx, dan entah siapa lagi yang diedarkan teman-temannya. Ia didorong buruh dan petani yang dilihatnya sebagai korban kolonialisme. Ia diberi semangat. Ketika Chairil Anwar menulis tentang mereka yang gugur dalam pertempuran di wilayah Karawang-Bekasi, tersirat sebuah kesadaran: ada yang akan "tentukan nilai" kepada "tulang-tulang yang berserakan" sehabis perang.

"Kenang, kenanglah kami…." Ada kenangan bersama yang memberi arti.

Bangsa, tulis Benedict Anderson dalam Imagined Communities yang termasyhur itu, selalu dianggit sebagai sebuah hubungan setia kawan yang sejajar dan mendalam. Pada akhirnya, "rasa persaudaraan inilah" yang menyebabkan berjuta-juta orang, bersedia membunuh atau mati untuk sebuah "bangsa"-yang sebenarnya sebuah anggitan, imagining, yang terbatas dalam ruang dan waktu.

Sebuah Makam Pahlawan, sebuah monumen, adalah tanda keinginan mengingat yang ditegakkan untuk tahan waktu-dan itulah paradoksnya: dengan mengenang masa lalu, monumen sebenarnya lahir dari dalam perubahan waktu.

Beberapa minggu yang lalu saya mengunjungi lagi Monumen Nasional. Tugu tinggi kukuh di tengah Ibu Kota itu, dengan pucuk yang hendak mengesankan api yang tak kunjung padam, sesuatu yang mirip emas berkilau, mencoba mengatasi paradoks itu dengan keperkasaan.

Tapi ingatan yang dibuat perkasa dan kekal pada akhirnya diambil alih Negara. Kita tahu Negara selalu melihat segala sesuatu dari atas, selalu mengklasifikasi, selalu mereduksi. Ia sebuah narasi yang meniadakan silang sengketa yang majemuk dan ruwet di masa lalu. Monumen ini wadah, bukan ruang. Ruang adalah sesuatu yang membiarkan lalu lintas berubah-ubah. Wadah mencoba membangun koherensi, menyeleksi unsur-unsur yang pas diberi tempat, menegakkan segregasi, mengatur proses-juga proses ingatan.

Koherensi dalam Monumen Nasional diatur oleh birokrasi ingatan. Sebagai wadah, ia tak membanggakan keluwesan, tak mengizinkan yang rekalsitran. Adegan-adegan sejarah dalam ruang diorama-dideretkan nyaris seragam di sebuah sal besar yang muram-dimaksudkan memberi inspirasi. Tapi tak terbangun suasana. Hanya diktat. Teks yang dicantumkan-dengan pilihan huruf yang tak berkarakter dan bahasa Indonesia yang kikuk-tampak sebagai hasil kerja para pegawai yang cemas untuk membiarkan sejarah berlangsung dengan ribut dan bebas.

Saya kira sudah sepantasnya Bapak berada di ruang, bukan dalam wadah.

Goenawan Mohamad

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus