Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap murah hati pemerintah asal menyuntikkan modal baru untuk badan usaha milik negara (BUMN) mulai menunjukkan belang. Alih-alih mampu meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, yang terjadi malah sebaliknya, perusahaan negara menjadi ajang patgulipat para pengelolanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukti terbaru adalah pernyataan-pernyataan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo yang menyebutkan adanya dugaan manipulasi laporan keuangan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Dua perusahaan konstruksi tersebut selalu membukukan keuntungan, padahal arus kasnya tidak pernah positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waskita juga tengah diguncang masalah korupsi yang menyeret direktur utamanya, Destiawan Soewardjono, sebagai tersangka. Penyidikan perkara yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 2,5 triliun ini masih dilakukan Kejaksaan Agung.
Ajaibnya, kedua perseroan itu masuk daftar penerima penyertaan modal negara (PMN). Wijaya Karya memperoleh tambahan alokasi Rp 8 triliun pada tahun ini yang akan cair pada awal 2024. Adapun Waskita Karya mendapat jatah Rp 3 triliun pada tahun anggaran 2022 yang semestinya cair pada tahun ini.
Sulit diterima akal sehat, perusahaan negara yang terindikasi laporan keuangannya penuh manipulasi bisa dengan mudah menerima kucuran modal baru dari pemerintah. PMN seolah-olah menjadi jalan pintas untuk menyelamatkan perusahaan negara yang sempoyongan.
Nyatanya, suntikan dana negara sering tidak diikuti dengan timbal balik yang signifikan bagi perekonomian dan penerimaan negara. Bukannya mencetak untung, sejumlah perusahaan BUMN malah terus merugi setelah diguyur PMN.
Persoalan manipulasi laporan keuangan dan kasus korupsi yang berujung pada pemberian PMN membuktikan bahwa ada yang keliru dengan struktur BUMN kita. Konsentrasi kekuasaan yang sangat besar pada satu orang, yaitu Menteri BUMN, dengan kontrol alakadarnya dari Dewan Perwakilan Rakyat berpotensi melahirkan pelbagai penyimpangan. Sebagai kuasa pemegang saham, Menteri BUMN bisa dikatakan punya kekuasaan mutlak atas ratusan perusahaan dengan total aset lebih dari Rp 9.100 triliun tersebut.
Menteri BUMN seolah-olah merupakan pemilik tunggal dari perusahaan-perusahaan itu. Inilah akar persoalannya. Pemusatan kendali sangat rentan akan keliru, salah urus, keputusan bisnis yang tak prudent, dan sebagainya. Ini struktur yang tidak sehat. Dan kita akan bolak-balik menghadapi persoalan senada selama strukturnya masih sama.
Pemusatan kekuasaan bisa memunculkan godaan alias moral hazard yang luar biasa. Lihat saja bagaimana posisi komisaris dijadikan alat tawar-menawar politik. Ini bentuk moral hazard yang paling enteng. Belum lagi kebiasaan bagi-bagi kontrak untuk pemasok, pengaturan tender, dan lainnya.
Semua direksi dan komisaris menandatangani kontrak sebelum diangkat, yang salah satu poin terpentingnya adalah bisa dipecat setiap saat tanpa wajib ada alasan. Tidak ada hak untuk menuntut atau melawan keputusan itu. Cara-cara itu jelas merupakan alat untuk menguatkan tirani atas seluruh BUMN.
Walhasil, saatnya pemerintah membuat perubahan yang struktural. Langkah paling awal adalah mengamendemen Undang-Undang BUMN yang memusatkan kekuasaan di tangan satu orang. Tanpa menyentuh aspek fundamental ini, persoalan yang sama akan terus berulang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo