Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mulan dan Serangkaian Keributannya

Saluran digital Disney + dibuka dengan penayangan film “Mulan” yang semula akan ditayangkan di bioskop.

19 September 2020 | 19.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara: Niki Caro
Skenario: Rick Jaffa, Amanda Silver, Lauren Hynek, dan Elizabeth Martin, berdasarkan film animasi Disney, Mulan, yang ditulis Tony Bancroft dan Barry Cook
Pemain: Liu Yifei, Donnie Yen, Gong Li, Jet Li, Tzi Ma, Jason Scott Lee, Yoson An, Ron Yuan
Produksi: Walt Disney Pictures

Ada Mulan dan ada “Mulan”.
Lalu ada juga Mulan yang kita kenal dengan si naga Mushu yang berisik dan lucu.

Film Mulan yang pertama dan kedua adalah film live action. Yang pertama berjudul Mulan: Rise of a Warrior (2009) arahan sutradara Jingle Ma dan produksi Tiongkok, sedangkan film Mulan (Niki Caro, 2020) adalah produksi Walt Disney Pictures yang sudah menimbulkan kehebohan jauh sebelum beredar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah Mulan sebetulnya diambil dari sebuah puisi panjang berjudul “The Ballad of Mulan” yang ditulis sekitar abad keenam. Tapi dunia (baca: Barat) mengenal cerita Mulan berdasarkan film animasi Mulan (1998), sebuah produk ramuan musikal, komedi, dan drama dari Disney.

Melalui film animasi itu, penonton dunia Barat mengetahui cerita dasar Mulan sebagai seorang gadis keluarga Hua yang berupaya menggantikan ayahnya untuk ikut wajib militer. Di masa Kekaisaran Han, setiap lelaki dalam keluarga diwajibkan ikut berperang untuk melawan serangan kaum Hun pimpinan Shan Yu. Mulan mengalami berbagai tantangan agar identitasnya tak terungkap. Tapi, dengan kemahirannya bertempur, dalam versi Beijing, akhirnya dia berhasil mencapai tingkat teratas pasukan imperial.

Pada 1990-an, Disney menyadari bahwa “Disney Princess” yang cantik dan ringkih sudah harus berubah wajah. Konsep tokoh perempuan yang menanti pangeran menjemput atau menunggu pangeran mencium dan menyelamatkannya dari penderitaan sudah kedaluwarsa. Dan mereka mulai memperkenalkan sosok mandiri dan berani mempertahankan prinsip sebagai keputusan bisnis. Disney tahu penonton pada tahun-tahun itu menyukai yang tegak merasakan “warna angin” seperti Pocahontas (1995) atau yang berani mengacungkan pedang seperti Mulan (1998).

Maka, begitu Disney memasuki era mengulang sukses dengan menggunakan aktor-aktris serta membuang segala sifat luwes dan jenaka animasi, problem itu muncul bertubi-tubi. Bagaimanapun, karakterisasi animasi yang bebas dan hiperbolis harus ditafsir ulang. Penafsiran ulang itu kadang menjadi lebih “santun” ketika menggunakan aktor atau aktris. Problem lain dari membuat live action adalah jika para tokoh utama merupakan binatang yang terpaksa dibuat dengan teknologi photorealistic computer-animated seperti The Lion King.

Film Mulan (2020) sebetulnya sudah dipersoalkan jauh sebelum film itu ditayangkan. Mengetahui bahwa film ini akan dibuat sebagai film drama tanpa musikal saja sudah membuat penggemar animasi Mulan geger. Situasi kian parah ketika tahun lalu aktris pemeran Mulan, Liu Yifei, menyatakan dukungannya kepada polisi yang menghajar demonstran prodemokrasi di Hong Kong. Tak aneh, saat film ini akan beredar, terjadi gerakan boikot. Problem di luar film berikutnya lantas muncul: sebagian lokasi syuting film ini dilakukan di area Xinjiang, yang hingga saat ini menjadi sorotan dunia karena pelanggaran hak asasi manusia.

Mulan arahan Niki Caro—di luar persoalan pandangan politik pemainnya—sebetulnya sudah menemukan nasib buruk karena sejak awal dibuat berdasarkan persepsi Hollywood terhadap legenda Tiongkok. Penonton dipaksa dan dijejali sebuah film yang sejak awal dibingkai dengan selera dan paradigma Hollywood. Dari hal yang ringan seperti bagaimana Hollywood ingin memanjakan penonton Amerika yang malas membaca subtitle, sehingga seluruh film menggunakan bahasa Inggris, sampai persoalan-persoalan yang prinsipiel, seperti pemilihan lokasi yang mengejutkan.

Dari sisi cerita, Niki Caro dan tim penulis skenario jelas mengadakan banyak perubahan dibanding film animasi versi 1998. Tapi sebetulnya perubahan itu mirip dengan Mulan: Rise of a Warrior (2009). Sutradara Jingle Ma dan Niki Caro sama-sama memperkenalkan Mulan yang sejak kecil sudah menguasai martial art dan kelakuannya yang kelelakian tidak memudahkan kehidupan sosial orang tuanya.

Saat Mulan di masa gadis, orang tuanya sudah sibuk mencarikannya jodoh, tapi dia justru merasa harus menggantikan bapaknya menjadi bagian dari tentara imperial. Caranya? Sementara dalam versi animasi dia memotong rambutnya sendiri, di film versi produksi Beijing dan Hollywood ini Mulan yang cantik itu membebat dadanya dengan setagen dan mengikat rambut panjangnya, lazimnya para lelaki di zaman itu.

Karena versi Beijing dan Hollywood sama-sama live action, kita tak akan menemukan si naga cerewet Mushu atau si jangkrik Cricket sebagai comedic relief. Hollywood malah menambahkan tokoh penyihir perempuan Xianniang (Gong Li) yang sedemikian saktinya hingga bisa berubah-ubah bentuk dan penampilan (lazim disebut shapeshifter).

Xianniang sebetulnya tokoh yang bisa menjadi kompleks dan menarik karena bersekutu dengan Bori Khan, musuh yang berniat menjungkalkan Kaisar. Tapi persekutuan itu rapuh dan Xianniang digambarkan sebagai perempuan marginal yang tak pernah diakui. Sayangnya kedahsyatan Gong Li, seperti halnya Jet Li, tidak terlalu digali dan dimanfaatkan sedalam-dalamnya.

Tambahan subplot dalam Mulan baru versi Hollywood yang lain adalah tokoh adik perempuan Mulan sebagai wakil “perempuan ideal” di masanya: tak merepotkan orang tua dan patuh ketika harus berdandan agar bisa memperoleh jodoh.

Sinematografi yang panoramik, terutama dalam adegan perang kolosal dan warna-warni terang-benderang: merah, kuning, hijau yang menabrak layar, mencoba mencapai kemegahan, tapi gagal membuat film ini sebagai sebuah film penting, apalagi film bagus.

Di bawah arahan Niki Caro, muncul konsep ch’i , kira-kira semacam kekuatan energi, di dalam diri Mulan (sesuatu yang tak ada dalam animasi). Ch’i inilah yang terus-menerus digaungkan sebagai energi Mulan yang hanya akan muncul jika dia jujur kepada dirinya dan orang lain tentang dirinya. Setidaknya itulah yang dikatakan penyihir Xianniang di antara sepak terjang perseteruan fisiknya melawan Mulan. Hanya dialah yang tahu betul identitas Mulan.

Dalam animasi dan versi Beijing (2009), Mulan cukup lama menyamar menjadi lelaki, sedangkan dalam versi terbaru, setelah kedoknya terbuka, Mulan muncul dengan dramatik, berbaju merah dengan rambut licin berombak seperti baru keluar dari salon.

Problemnya juga tak berhenti pada persoalan gambar yang serba mengkilap, tapi lebih lagi pada bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa komunikasi, sementara dialog adalah bagian dari seni peran. Tentu saja Gong Li dan Donnie Yen (berperan sebagai Komandan Tung) tidak tampil buruk. Tapi, sebagai aktor veteran, mereka jauh lebih sempurna ketika tampil dalam bahasa ibu.

Bahwa film ini memilih menjadi film drama, dan bukan musikal, bukanlah sesuatu yang mengherankan. Versi sutradara Jingle Ma yang menampilkan Zhao Wei sebagai Mulan bahkan mengabdikan satu bagian panjang saat Mulan berlama-lama galau ketika peperangan memakan korban. Adegan perang dan kegelapan masa depan menjadi bagian utama babak kedua hingga akhir.

Adapun Mulan versi Hollywood lebih menekankan Mulan—yang sudah berjaya sebagai pemenang dan ikon imperium—toh kepingin pulang mengabdi kepada keluarga. Soal pacar-pacaran dalam Mulan terbaru ini dihapus hingga terasa samar-samar. Tokoh Kapten Li Shang dalam animasi yang berupa tumpukan otot yang saling tertarik dengan Mulan dalam samaran lelaki itu dihapus dan dibelah dua menjadi tokoh Chen Honghui (Yoson An), sesama tentara, dan atasan mereka, Komandan Tung.

Ketiga versi Mulan ini sesungguhnya mempunyai catatan masing-masing. Tapi film Mulan terbaru adalah versi yang paling problematik dan penuh skandal sehingga isi filmnya sendiri, yang sebetulnya buruk, tak sempat dipersoalkan lagi.

Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus