Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Winter is coming....”—Ned Stark dalam Game of Thrones
Musim dingin mendekat, kehidupan akan beku—tak secara harfiah, tentu. Dalam kiasan ini, manusia akan terbentuk di dalam -balok yang tak cair; ia tak lagi berproses, kreatif, dan berubah; ia masuk atau dimasukkan ke kotak dengan label yang mandek. ”Aku ditakdirkan sebagai X, tak bisa lepas.”
Waktu pun dilihat bukan seperti arus air sungai, sesuatu yang berubah dan mengubah. Waktu dianggap sebagai sesuatu yang—bak air dalam suhu di bawah nol derajat Celsius—terbagi-bagi dalam patahan, dalam ruas-ruas, dalam kurun.
Kita ingat Oedipus. Dalam dongeng Yunani Kuno ini, dikisahkan negeri Thebes terancam. Seekor makhluk sakti, bertubuh singa dan berkepala perempuan, akan membunuh siapa saja yang hendak masuk ke kota. Ia, Sphinx, akan menyodorkan sebuah teka-teki. Bila yang ditanya tak bisa memecahkannya, akan dibinasakan. ”Coba tebak, apa yang bila pagi berkaki empat, siang berkaki dua, dan senja berkaki tiga?”
Akhirnya Oedipus datang dan menebak: ”Itu manusia.”
Seketika itu juga Sphinx terbang melesat. Diceritakan ia bunuh diri.
Tapi saya punya tafsir yang berbeda. Sphinx tak bunuh diri; ia hanya menjauh. Tebakan Oedipus tepat: manusia hidup dalam kurun waktu—dalam masa kecil yang merangkak, dalam masa dewasa yang melangkah tegak, dan dalam masa tua ketika ia harus memakai tongkat untuk berjalan. Raib dari gerbang, Sphinx membiarkan Oedipus masuk Thebes untuk meneguhkan kebenaran tebakannya—yang sebenarnya defaitis—dengan riwayat hidupnya sendiri.
Dan itulah yang terjadi. Di Thebes, sebagaimana dikisahkan drama karya Sophokles yang termasyhur itu, Oedipus dinobatkan. Ia pahlawan yang membuat Sphinx pergi. Tapi kemudian segalanya berubah. Wabah berkecamuk dan sang penyelamat dianggap sebagai najis yang jadi biang penyakit: seseorang yang dituduh membunuh ayahnya dan menikahi ibu kandungnya sendiri.
Oedipus menyelidiki tuduhan itu—dan menemukan bukti bahwa si pendosa memang dirinya. Ia pun mencoblos matanya sendiri dan meninggalkan Thebes.
Demikianlah riwayatnya: kisah manusia seperti tebakan teka-teki Sphinx: dari tanpa curiga jadi buta, dari jaya jadi durjana, dari perkasa jadi terlunta-lunta.
Tapi di balik kisah perubahan itu, karya Sophokles ini sebenarnya sebuah pandangan statis tentang waktu.
Pertama, waktu digambarkan sebagai sebuah ruang beku yang terpotong-potong dalam masa ke masa: periode kanak, dewasa, dan uzur—bukan sebagai, dalam istilah Bergson, durée. Kedua, seluruh biografi Oedipus berlangsung dalam waktu yang mandek.
Riwayatnya sudah digariskan dewa-dewa: ia akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya sendiri. Ia tak bisa mengelak dari takdir itu. Ia kemudian memang membunuh ayahnya (tanpa tahu bahwa orang itu bapak kandungnya); ia meniduri ibunya (tanpa sadar ia membuahi rahim yang dulu mengandungnya). Dengan kata lain: ia hidup di atas garis nasib.
Oedipus akhirnya menyadari semua itu, tapi—di sinilah ia jadi tokoh tragedi yang dahsyat—ia tak memindahkan beban dosa ke luar dirinya.
Ia membutakan matanya—mungkin sebagai pelarian, karena tak ingin lagi menyaksikan dunia yang menghukumnya, atau mungkin juga sebagai hukuman kepada dirinya sendiri.
Dalam kedua kemungkinan itu, ia tunjukkan ia pelaku yang merdeka, bukan marionet dewa-dewa. Ia melepaskan diri dari waktu yang membeku yang hanya mengulangi desain langit. Baginya, waktu bukan urutan kronologi, melainkan loncatan ke dalam gelap.
Dalam hal ini, Oedipus sebuah jawaban bagi pertanyaan klasik: benarkah manusia merdeka? Atau hanya obyek -takdir?
Perdebatan ini pernah terjadi di abad ke-9 dalam sejarah filsafat Islam, antara kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariyah. Persoalan ini muncul kembali ketika dunia modern yang dikepung teknologi dan kapitalisme digugat dan manusia tak lagi dianggap subyek yang bebas.
Baru-baru ini Yuval Noah Harari, misalnya, berbicara tentang hal itu. ”Bila Coca-Cola, Amazon, Baidu, atau pemerintah tahu bagaimana memainkan tali hatimu dan menekan tombol otakmu,” tulisnya dalam 21 Lessons for the 21st Century, apa beda dirimu dengan profil yang dikonstruksikan pakar pemasaran? Benarkah kita subyek, bukan obyek? Keputusan kita, katanya pula, berdasarkan perasaan, tapi perasaan itu bukan kemauan yang bebas, melainkan hasil ”mekanisme biologis”, ”algoritma yang diasah melalui evolusi jutaan tahun”.
Harari sebenarnya ingin membawakan suara cemas akan musim dingin yang mendekat. Tapi cemasnya berlanjut hingga ia tak percaya lagi kemerdekaan manusia untuk memilih untuk tak jadi es. Ia seorang ”Asy’ariyah” abad ini: mempercayai takdir jenis baru.
Peringatannya patut, tapi mungkin sedikit rabun. Diabaikannya pengalaman bahwa dalam hidup selalu ada yang dihayati sebagai baru. Dalam karya kreatif, benda, manusia, dan waktu tak pernah membeku. Sejarah adalah Oedipus: keputusan dalam luka, langkah meninggalkan Thebes, loncatan ke dalam entah, juga di bawah bayangan musim -dingin.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo