Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Burdah
Dosen UIN Sunan Kalijaga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di Aljazair selama berpekan-pekan. Protes tak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di Ibu Kota Aljier. Unjuk rasa itu dipicu keinginan Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika untuk maju kembali dalam pemilihan presiden pada April mendatang. Karena itu, slogan gerakan tersebut pada mulanya adalah "laa lil ‘ahdah al-khamisah" atau "laa lil fathrah al-khamisah" (tidak untuk periode kelima). Mereka menolak pencalonan kembali Bouteflika, yang telah menjadi presiden selama empat periode atau sekitar 20 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi kondisi kesehatan lelaki 81 tahun itu sudah sangat lemah. Bahkan sudah enam atau tujuh tahun ia sama sekali tak berbicara kepada rakyatnya dan harus bolak-balik berobat ke luar negeri. Pencalonan kembali Bouteflika ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap rakyat. "Masak mayat dicalonkan jadi presiden," kata seorang warga Aljazair kepada saya.
Gerakan protes di Aljier bermakna sangat penting karena demonstrasi di Ibu Kota dilarang keras oleh undang-undang dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Gerakan ini menandai keberanian rakyat melawan rezim yang berkuasa.
Namun mereka tak hanya menolak pencalonan kembali Bouteflika, tapi juga menyerukan "irhal" (enyahlah) dan "asy syab yurid isqad al-nidham" (rakyat ingin menjatuhkan rezim)-persis slogan-slogan Musim Semi Arab di Mesir, Tunisia, Suriah, dan lain-lain.
Beberapa hal bisa membantu menjelaskan kuatnya keinginan rakyat Aljazair menjatuhkan rezim Bouteflika. Pertama, persentuhan antarnegara Arab saat ini sangat besar. Sejak adanya televisi satelit, "kebudayaan Arab baru" mulai lahir, yaitu kebudayaan yang "menyatukan" Arab kendati terpisah oleh kenyataan negara-bangsa sejak berakhirnya Perang Dunia I dan II. Pan Arabisme secara politik, menurut Andrew Hammond, gagal tapi secara kultural ternyata tidak. Penularan apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, dan lain-lain-yang disebut Musim Semi Arab-mudah sekali terjadi di negara Arab lain, termasuk Aljazair. Apalagi media baru, terutama media sosial, makin memperkuat kemudahan persentuhan ini.
Kendati ditakut-takuti bahwa apa yang terjadi di Suriah atau Yaman bisa menimpa Aljazair, rakyat tetap maju dan bergerak. "Hadzihi al-jazair, walaysat suriah" (Kami Aljazair, bukan Suriah), demikian para demonstran berteriak dalam unjuk rasa yang tergolong "damai" itu bila dibandingkan dengan demonstrasi Musim Semi Arab lainnya. Di samping itu, mereka tentu mengikuti apa yang terjadi di negara tetangga, Tunisia. Negeri itu berhasil menjungkalkan rezim kuat Zainal Abidin bin Ali sekaligus berhasil melewati masa transisi dengan membanggakan.
Kedua, faktor media sosial yang mengubah alur dan sumber informasi. Alur dan sumber informasi menjadi tak mudah dikontrol. Sementara dulu media-media seperti Al-Nahar, Al-Khabar, dan Al-Syuruq menjadi sumber utama informasi rakyat, sekarang sumber informasi itu datang dari mana saja. Dulu alur informasi berasal dari rezim kepada rakyat melalui media-media konvensional itu. Sekarang semua rakyat berpotensi menjadi sumber dan penulis sekaligus konsumen berita. Diperkirakan hampir semua warga di kota-kota di Aljazair sudah "melek" media sosial, terutama anak-anak muda.
Rezim Bouteflika tentu tak akan mudah lagi mengontrol pengetahuan rakyat tentang mereka. Media sosial sepertinya akan menjadi pilar utama dalam gerakan protes perubahan di Aljazair ini, sebagaimana di Mesir dan Tunisia. Tapi apakah rakyat Aljazair juga akan mengucapkan "syukran laka ya Fesbuk" (Terima kasih, Facebook) sebagaimana rakyat Mesir mengucapkan itu setelah berhasil menjatuhkan Mubarak, itu soal lain.
Ketiga, keadaan ekonomi dan politik Aljazair beberapa tahun terakhir secara umum memburuk. Modernisasi yang digalang Bouteflika selama dua dekade terakhir tidak cukup berhasil menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Apalagi memburuknya ekonomi dunia juga berpengaruh terhadap harga minyak. Kebutuhan bahan pokok dikabarkan juga naik, sementara korupsi kroni-kroni rezim Bouteflika luar biasa. Aljazair termasuk negara paling korup di dunia. Dan, yang penting, lapisan pemuda terdidik yang menganggur di negeri itu juga semakin tebal. Mereka inilah salah satu pilar demonstrasi kali ini. Perjuangan panjang para aktivis politik dan hak asasi manusia, keadaan yang buruk, dan media sosial berakumulasi bagi lahirnya gerakan ini.
Di sisi lain, kebebasan politik di Aljazair sangat terbatas. Sangat sulit untuk membuat terobosan perubahan melalui bilik suara karena partai-partai oposisi "dimandulkan" oleh lingkaran rezim yang berkuasa. Partai berkuasa Jabhah al-Tahrir seperti sendirian di medan laga, meski ada sekitar 40 partai politik di sana. Sumber-sumber ekonomi dikuasai segelintir elite, terutama orang kuat di partai berkuasa, para jenderal, dinas intelijen, dan tentunya keluarga besar Bouteflika.
Jatuhnya Bouteflika, jika terjadi, tak otomatis berarti jatuhnya rezim karena kekuasaan di Aljazair, baik politik, ekonomi, maupun militer, dikuasai oleh lingkaran elite di atas. Tapi rakyat sudah tahu itu semua dan mengarahkan tuntutan bukan hanya ke Bouteflika, tapi juga kepada anasir-anasir rezim ini secara keseluruhan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo