Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI mereka tak ada resesi. Mereka ibarat burung-burung gagak
dalam satu kalimat Injil tidak menabur dan tidak menuai, tak
mempunyai gudang atau lumbung, tapi "diberi makan oleh Allah."
Namun betapa sedikitnya makan itu. Meskipun sebagian besar
penghasilan mereka dihabiskan buat pangan, beras yang mereka
beli tiap hari itu kotor. Artinya, himpunan dari butir-butir
yang telah jatuh ke tanah. Sayur mereka pun mereka dapat dari
para pedagang yang unik: orang-orang yang mengumpulkan kobis dan
sawi buangan di dekat pasar.
Sudah tentu, para pembaca, mereka bukan tokoh dalam cerita anak
yang melodramatis. Mereka tak muncul dari latar Si Jamin dan si
Johan yang disadur Merari Siregar setengah abad yang lalu:
gambaran penderitaan si melarat di Amsterdam yang diubah jadi si
melarat di Betawi.
Tokoh kita kali ini lebih nyata dari Si Jamin dan Si Johan, dan
lebih kontemporer. Mereka adalah lapisan masyarakat yang
dilukiskan dalam sebuah buku penting yang baru terbit,
Kemiskinan dan Kebutuan Pokok, dengan editor Mulyanto Sumardi
dan Hans-Dieter Evers (Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, September
1982).
Bahwa sosok mereka bisa muncul -- melalui karya pertama sejumlah
peneliti sosial yang masih muda -- menunjukkan bahwa mereka
lebih dari sekadar indikator kuantitatif suatu persoalan.
Sejumlah tulisan memang telah ditulis tentang kemelaratan. Para
cendekia, kadang dengan suara gemuruh seorang nabi padang pasir
yang berdiri di gerbang kota, telah menyebutkannya berkali-kali.
Tapi seperti banyak hal lain di Indonesia, demagogi lebih sering
terdengar benar ketimbang hasil penelitian.
Yang menggembirakan bukanlah karena buku ini merupakan satu
langkah dalam penelitian mikro tentang kenyataan kemiskinan itu.
Yang bisa dihargai ialah karena penelitian kali ini antara lain
mencoba menjawab: bila kita omong tentang "kebutuhan dasar",
maka apa sebenarnya "kebutuhan dasar" itu bagi si miskin
sendiri?
Pertanyaan itu penting, karena orang miskin bukanlah orang yang
gampang menjawab. Kadang bahasa pun mereka telah tak punya lagi:
alat komunikasi itu telah sarat dengan milik orang lain. Yang
menarik ialah bahwa dalam kebisuan itu mereka telah jadi semacam
tokoh mitologi.
Tapi benarkah untuk meletakkan orang-orang miskin pada status
yang seperti itu, keramat? Mereka yang hidup dengan beras kotor
dan sayur sisa tentunya akan berkata tidak. Mereka tidak ingin
dimuliakan dalam bentuknya yang demikian. Mereka ingin
dilepaskan. Namun masalah yang pokok dewasa ini barangkali ialah
sejauh mana kemiskinan harus diperangi, tapi sekaligus sejauh
mana peperangan itu tidak mengokohkan nafsu manusia akan
benda-benda-setelah kebutuhan pokok dipenuhi.
Di Cina, sebelum revolusi, petani kelaparan. Mereka memakan
kulit kayu. Setelah revolusi, sosialisme menjanjikan kehidupan
yang nyaman. Tapi ketika "rangsangan materi" diperkenalkan
kepada para pekerja, timbul gejala keserakahan di satu pihak dan
cemburu di lain pihak. Lalu Mao bertindak . . .
Sejarah belum selesai untuk mengatakan adakah Mao bersalah.
Dalam film yang di Indonesia laris, The Gods Must be Crazy,
sebuah botol jatuh dari langit (dilemparkan dari pesawat) ke
sebuah kampung orang primitif di Afrika. Kekayaan baru itu
ternyata menyebabkan pertikaian. Si kepala suku akhirnya
memutuskan untuk mengembalikan botol itu kepada para dewa.
Benarkah tindakannya? Tidakkah seharusnya ia menciptakan lebih
banyak botol, dan memasuki peradaban yang "kaya"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo