Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Nakoda Baru Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sebagai menteri yang diangkat di tengah dinamika yang cukup kompleks, ada enam tantangan utama Menteri Trenggono dalam menakodai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

26 Desember 2020 | 11.14 WIB

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama/am.
Perbesar
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama/am.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Presiden Joko Widodo baru saja melantik Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, menggantikan Edhy Prabowo yang tersangkut kasus korupsi ekspor benih lobster. Menteri Trenggono dikenal sebagai pengusaha, politikus, dan terakhir menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Latar belakang tersebut sedikit-banyak akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil dalam pengelolaan kelautan dan perikanan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Undang-Undang Perikanan memberi mandat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mencapai tujuan ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan dan melestarikan sumberdaya ikan. Tujuan ganda ini seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, kebijakan tidak bisa hanya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan mengorbankan kelestarian sumberdaya ikan. Demikian juga sebaliknya, kebijakan tidak bisa hanya fokus pada upaya pelestarian tanpa peningkatan kesejahteraan nelayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tantangan Utama

Sebagai menteri yang diangkat di tengah dinamika yang cukup kompleks, ada enam tantangan utama Menteri Trenggono dalam menakodai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pertama, perbaikan tata kelola lobster. Amburadulnya tata kelola lobster menyebabkan Menteri Edhy Prabowo terjerat kasus korupsi. Tata kelola lobster yang baik mestinya bisa meningkatkan pendapatan nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian lobster di sisi lain. Pendapatan nelayan bisa ditingkatkan melalui program budidaya dan penangkapan lobster dewasa di alam. Budidaya lobster perlu didukung oleh sains dan teknologi agar diperoleh lobster berkualitas dengan biaya yang rendah dan harga jual yang tinggi. Penangkapan lobster dewasa di alam perlu intervensi kebijakan untuk memastikan kesehatan ekosistem tetap terjaga, pengaturan minimum size yang boleh ditangkap, dan larangan menangkap lobster dalam kondisi bertelur. Ekspor benih lobster mestinya bukan pilihan kebijakan.

Ekspor benih lobster mungkin bisa menambah penghasilan nelayan, tapi kebijakan ini jelas mengganggu kelestarian lobster di alam. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, nelayan penangkap dan pembudidaya lobster akan kesulitan memperoleh benih lobster. Lobster memang bukan spesies terancam punah, tapi kepunahan bisa terjadi jika eksploitasi besar-besaran terus dilakukan terhadap benih lobster.

Kedua, peningkatan kesejahteraan nelayan. Masyarakat nelayan masih dipersepsikan sebagai masyarakat yang paling miskin di antara penduduk miskin (the poorest of the poor). Ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan masih relatif kecil di mana kontribusinya terhadap PDB nasional, sejak KKP berdiri tahun 1999, hanya berkisar antara 2 - 3,15%.  Nilai Tukar Nelayan (NTN) sejak tahun 2008 hanya berkisar antara 101,14 – 113,74.  Di sisi lain, sebagai negara terbesar (top seven) penghasil perikanan tangkap dunia, Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar (top ten) negara eksportir perikanan dunia.  Ekspor perikanan menjadi penting karena selain memberi nilai tambah, pasar perikanan dunia mensyarakat kriteria keberlanjutan terhadap produk-produk perikanan.

Ketiga, perbaikan ekosistem pesisir. Indonesia memiliki tiga ekosistem pesisir penting dengan luasan terbesar di dunia, yaitu terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.  Sayangnya, ketiga ekosistem tersebut dalam kondisi terdegradasi. Terumbu karang dengan kondisi sedang dan jelek mencapai 70%, sementara ekosistem padang lamun dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat mencapai 95% (LIPI, 2017). Kerusakan mangrove ditandai dengan laju deforestrasi hutan mangrove yang mencapai 52.000 hektar per tahun (Murdiyarso et al. 2015). Kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing practices) merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem pesisir.

Keempat, perbaikan kondisi stok ikan. KKP (2017) melaporkan bahwa semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ada warna merahnya. Hal ini berarti bahwa telah terjadi overfishing untuk jenis ikan tertentu, yaitu tingkat penangkapannya telah melewati batas keberlanjutan atau melampaui Maximum Sustainable Yield (MSY). Overfishing dapat juga diartikan bahwa waktu melaut menjadi lebih lama, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, produktifitas menjadi semakin menurun, ukuran ikan sasaran menjadi semakin kecil, dan biaya penangkapan menjadi semakin meningkat (Widodo dan Suadi, 2008).  

Kelima, dominasi nelayan kecil. Data KKP (2018) menunjukkan bahwa 96% kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Indonesia berukuran di bawah 10 GT.  Kapal kecil ini umumnya hanya beroperasi di wilayah pesisir dengan jumlah tangkapan sedikit, namun memberi tekanan besar terhadap kesehatan ekosistem pesisir.  Sisanya (4%) merupakan kapal berukuran di atas 10 GT. Ini berarti hanya sedikit kapal perikanan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas (high seas). Transformasi gradual dari nelayan kecil ke nelayan menengah-besar perlu terus dilakukan agar terjadi pergeseran lokasi penangkapan, dari wilayah pesisir ke ZEE dan laut lepas.  Selain akan meningkatkan kesejahteraan nelayan, juga mengurangi tekanan terhadap ekosistem pesisir.

Keenam, pengaturan alat penangkapan ikan. KKP telah menetapkan beberapa jenis alat penangkapan ikan yang dilarang karena dinilai mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan, termasuk dalam hal ini mengancam kepunahan biota, mengakibatkan kehancuran habitat, dan membahayakan keselamatan pengguna. 

Salah satu alat penangkapan ikan yang cukup kontroversial adalah cantrang, yaitu alat tangkap kategori pukat tarik (seine nets). Aturan tentang cantrang berubah-ubah sejak jaman orde baru, kadang dilarang dan kadang dibolehkan.  Terakhir, sebelum mengundurkan diri, Menteri Edhy kembali membolehkan pengoperasian cantrang di WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan) dan WPP 712 (perairan Laut Jawa) melalui Permen KP No. 59/2020.  Menteri Trenggono perlu memberikan kepastian hukum dalam jangka panjang terkait alat penangkapan ikan yang dilarang agar nelayan bisa tenang menangkap ikan dan kesehatan ekosistem pesisir tetap terjaga.  

Modalitas Tata Kelola

Selain kelima tantangan utama tersebut, KKP memiliki beberapa modalitas penting dalam tata kelola kelautan dan perikanan.  Dari sisi keruangan, sudah ada regulasi tentang zona maritim berdasarkan UNCLOS (the United Nations Convention on the Law of the Sea), Rencana Tata Ruang Laut Nasional, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), dan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pengaturan ruang laut ini memudahkan upaya pemanfaatan dan pelestarian sumber daya ikan, menghindari tumpang tindih kebijakan, dan mencegah terjadinya konflik kepentingan antar pemangku kepentingan.  

Dari sisi pengelolaan stok ikan, KKP secara reguler mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.  Kepmen ini memberikan informasi tentang jenis ikan mana saja yang statusnya berwarna merah (over-exploited), kuning (fully-exploited), dan hijau (moderate). Warna merah berarti tingkat eksploitasi sumber daya ikan telah melewati level MSY (level keberlanjutan), kuning berarti tingkat eksploitasi berada pada level MSY, dan hijau berarti tingkat eksploitasi masih di bawah level MSY.  

Dengan indikator warna ini, maka respon kebijakan perikanan secara sederhana adalah mengurangi upaya penangkapan untuk status merah, mempertahankan upaya penangkapan untuk status kuning, dan boleh menambah upaya penangkapan untuk status hijau dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Lobster, misalnya, statusnya sudah berwarna merah di 6 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), sehingga kebijakan yang mesti diambil mestinya mengurangi upaya penangkapan.  Bukan melakukan eksploitasi secara besar-besaran, apalagi terhadap benihnya.

Dari sisi konservasi, KKP bersama KLHK dan pemerintah daerah mengelola sekitar 24 juta hektar Marine Protected Area (MPA).  MPA berperan penting sebagai asuransi dalam pengelolaan perikanan, melestarikan ekosistem pesisir yang merupakan pusat produksi stok ikan, perlindungan jenis ikan terancam punah, kawasan ekowisata bahari favorit, dan penyedia jasa ekosistem lainnya. Menteri-menteri sebelumnya belum banyak memberi perhatian pada upaya peningkatan efektifitas pengelolaan MPA di Indonesia.

Menteri Trenggono diharapkan dapat melakukan terobosan kebijakan dalam koridor tata kelola perikanan yang baik agar tidak melenceng dari tujuan ganda pengelolaan perikanan. Selamat bekerja.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus