Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PIDATO pertama Joko Widodo sebagai presiden terpilih 2019 bertajuk "Visi Indonesia" pada Ahad malam lalu sesungguhnya merupakan narasi yang diulang-ulang. Dalam pidato selama lebih-kurang 20 menit itu, Jokowi menegaskan kembali mengenai orientasi pemerintahannya yang sangat terbuka terhadap modal dan investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Isi pidato itu, misalnya, menyangkut ide reformasi birokrasi, pembangunan infrastruktur, serta pembenahan sumber daya manusia, persis dengan apa yang ia sampaikan lima tahun lalu saat terpilih menjadi presiden pada periode pertama. Padahal, semestinya Jokowi cukup menegaskan tentang apa yang sudah dilakukan selama lima tahun lalu serta apa yang perlu disempurnakan untuk periode berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dengan pengulangan ini, Jokowi justru terkesan hendak menyampaikan bahwa program ekonomi dan investasi pada periode pertama pemerintahannya belum terlihat hasilnya. Kalaupun hendak menegaskan soal pembangunan ekonomi, seharusnya Jokowi memilih tentang penekanan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Soal tata kelola pembangunan yang menghargai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik perlu disampaikan karena hal itu kerap diabaikan selama ini. Percepatan program pembangunan yang mengabaikan prinsip dasar itu semestinya tak perlu dipraktikkan lagi dalam lima tahun ke depan.
Dalam pidatonya, Jokowi juga tak menyinggung soal penegakan hukum. Padahal, kegaduhan politik, konflik sosial, kesenjangan, dan ketidakadilan di masyarakat muncul karena lemahnya penegakan hukum. Bidang ini menjadi sorotan dalam periode kepemimpinannya yang pertama. Misalnya, tak kunjung ditemukannya pelaku teror penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan serta kerusuhan 21-22 Mei lalu. Jokowi seharusnya bisa menjawab kegelisahan rakyat akibat penegakan hukum yang bermasalah.
Persoalan terbesar dari pidato itu adalah narasi pemerintah yang sepertinya hendak memisahkan antara pembangunan ekonomi dan kebebasan demokrasi serta hak asasi manusia (HAM). Dalam pidatonya, Jokowi terlihat menggebu-gebu membahas investasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Bahkan dia berjanji akan mengejar dan menghajar orang yang menghambat investasi. Cara yang terkesan hantam kromo itu jelas tak sejalan dengan prinsip demokrasi dan berpotensi melanggar HAM.
Pemisahan ini jelas salah kaprah karena merupakan paradigma lama yang kerap dipraktikkan pemerintahan negara otoriter. Paradigma ekonomi nasional semestinya menerapkan pandangan-pandangan lebih baru yang sudah berlaku umum di belahan dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia sudah menegaskan bahwa pembangunan ekonomi mesti sejalan dengan pembangunan kebebasan demokrasi dan HAM.
Pemisahan pembangunan ekonomi dari kebebasan demokrasi dan HAM juga berbahaya karena akan muncul kebijakan asal cepat dan main terabas di lapangan. Kondisi itu tentu saja bakal menimbulkan ketidakadilan dan ongkos kemanusiaan yang besar.
Pada periode kedua pemerintahan ini, Jokowi semestinya bisa bekerja dengan lebih mendengarkan aspirasi publik, bukan partai-partai yang mengusungnya. Tak kalah penting, ia juga harus melunasi janjinya yang masih terutang, yaitu penuntasan kasus pelanggaran HAM.