Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para elite dan partai politik kini sibuk menggaungkan tentang persatuan nasional.
Imbauan persatuan diharapkan dapat meredam pembelahan sosial seperti pemilu sebelumnya.
Narasi ini perlu diwaspadai, apakah sekadar manipulasi atau sungguhan.
Rendy Pahrun Wadipalapa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti politik dari University of Leeds, Inggris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana besar persatuan nasional digaungkan oleh para elite menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024. Seruan itu misalnya muncul dari Budiman Sudjatmiko, Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo, dan tokoh-tokoh lain. Sepintas, imbauan persatuan ini tampak sebagai sebuah formula untuk meredam antagonisme ekstrem dan pembelahan sosial, dua hal yang merecoki dua pemilihan presiden sebelumnya. Ia juga narasi yang didambakan oleh banyak orang yang mengalami trauma politik pada dua pemilu sebelumnya. Kekhawatiran atas kembalinya perpecahan antar-elite dan pendukungnya ini menjadi alasan kuat bagi kekuatan-kekuatan politik hari ini untuk terus-menerus mewacanakan persatuan antar-kelompok. Koalisi politik dirancang dengan postur besar dan substansi kampanye diarahkan pada urgensi stabilitas dan harmoni.
Meski demikian, kesimpulan optimistis atas pertobatan elite lewat ceramah-ceramah persatuan ini harus diuji lebih jauh. Ketelitian diperlukan dalam membedakan apakah narasi persatuan itu adalah sebuah ide genial yang disorongkan sebagai agenda serius atau sekadar bagian dari ekspansi politik belaka untuk menggalang sebanyak-banyaknya anggota koalisi dalam menghadapi kontestasi pilpres.
Tulisan ini menawarkan tiga cara baca yang berguna untuk melihat bagaimana narasi persatuan itu justru berpotensi menjadi ranjau politik yang sulit diantisipasi akibat-akibatnya.
Cara pertama adalah mengujinya melalui perspektif efek elektoral. Dalam situasi politik kompleks yang tumbuh di tengah faksi-faksi politik, anutan ideologis, dan latar belakang sosio-kultural yang berbeda, narasi persatuan adalah jembatan strategis bagi partai politik yang mencari cara untuk memenangi dukungan pemilih yang lebih luas. Dalam konteks ini, imbauan persatuan bisa menjadi strategi elektoral untuk menarik pemilih dari berbagai spektrum politik. Perbedaan faksional dianggap sebagai benalu yang harus diatasi. Narasi persatuan memungkinkan mereka untuk berbicara dengan bahasa yang lebih inklusif, menawarkan visi yang dapat menggabungkan elemen-elemen dari berbagai kelompok pemilih, dan pada akhirnya meraih lebih banyak suara di bilik suara. Dengan bukti hidup kesuksesan Presiden Joko Widodo yang membangun koalisi besar dan kuat, para kandidat hendak mengulangi resep yang sama dengan bungkus narasi persatuan. Namun, dengan dorongan manipulatif semacam ini, narasi persatuan hanya berhenti menjadi slogan kampanye dan dapat segera batal setelah pemilihan selesai.
Kedua, komparasi harus dilakukan dalam menilai kesenjangan antara narasi persatuan yang diusung dan realitas politik. Fakta politik adalah data penting yang harus ditimbang: apakah relevan untuk mendorong narasi persatuan ke semua kelompok ketika masih ada faksi oposisi? Bukankah kita dapat jatuh pada pola pikir fasistik ketika menganggap bahwa semua elemen harus bersatu dalam kapal yang sama dan tak diizinkan berbeda atau mengambil sikap di luar pagar? Kita harus mengakui bahwa periode kedua dari kekuasaan Presiden Joko Widodo telah menciptakan harmoni politik, tetapi dalam beberapa hal situasi ini melahirkan bahaya lain. Kelompok oposisi terus melemah dan dalam banyak bukti justru direpresi lewat berbagai jalan, dari pembajakan partai, pemidanaan, hingga sanksi-sanksi politik lain.
Ketiga, ujian yang paling telak adalah melihat konsistensi narasi persatuan ini setelah pemilihan umum. Meskipun elite politik hari ini berkompromi di balik narasi serba harmonis dan serba persatuan, konsistensi sikap mereka andai kalah dalam pemilu diragukan. Reposisi anggota koalisi beserta narasi politiknya mudah terjadi dan bahkan ada kemungkinan anggota koalisi itu akan berbeda dan kembali pada antagonisme politik. Alasan utamanya, mereka tidak mampu menahan selamanya kepentingan dan identitas politik mereka yang saling berbeda dan berpotongan, yang hanya dapat diredam oleh kompromi sementara selama kampanye. Jika skenario ini terjadi, ketidakpercayaan di antara pemilih akan meruap dan merasa bahwa mereka diperalat demi kepentingan politik elite.
Dengan tiga lensa di atas, kita harus berhati-hati dalam memeriksa narasi besar persatuan. Di satu sisi, narasi ini bernada simpatik dan mudah merebut hati publik dan calon pemilih, terutama pada mereka yang sangat lelah sekaligus cemas atas pecahnya kohesi sosial. Ada kerinduan atas situasi harmonis antarkelompok, sebuah perasaan sentimental yang mudah dikapitalisasi. Tetapi, di sisi lain, kita harus waspada terhadap kecenderungan manipulatif elite dan kesementaraan isu. Persatuan mudah tergelincir menjadi intensi fasistik. Keinginan obsesif untuk persatuan bisa dieksploitasi oleh mereka yang ingin mengesahkan kebijakan-kebijakan represif atau mendegradasi prinsip-prinsip demokrasi.
Koalisi elektoral yang ditopang oleh narasi persatuan dapat saja bertahan jauh dengan komitmen yang kuat setelah pemilu. Tetapi, jika ternyata segala bangunan narasi persatuan hanyalah muslihat kampanye, maka apa yang sungguh-sungguh dirindukan oleh publik sebagai harmoni politik akan segera batal dan menjadi fatamorgana belaka.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo