Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI Tugu Tani, Minggu pagi dua pekan lalu, merupakan pengingat: ancaman di jalan raya di kota besar seperti Jakarta semakin meningkat. Risiko celaka tidak hanya datang dari pengemudi ugal-ugalan, atau sopir yang asyik berponsel ria, tapi juga dari pengemudi yang sedang fly akibat narkotik. Hukuman berat untuk pengemudi yang dimabuk narkoba, seperti Afriyani Susanti, perempuan yang merebut nyawa sembilan orang di Tugu Tani, hanya salah satu cara menimbulkan jera. Tapi itu bukan satu-satunya cara pencegahan.
Bila benar Afriyani mulai mengemudi dari sebuah hotel di Jakarta Pusat, artinya dia sudah berkendara dalam keadaan tak normal sekitar dua-tiga kilometer sebelum menabrak halte bus di Jalan Ridwan Mas, dekat Tugu Tani. Sejauh itu tak ada petugas, atau pengemudi lain, yang mencoba memberikan peringatan, padahal beberapa saksi menyebutkan mobil berjalan zigzag lantaran pengendara baru menenggak alkohol dan narkoba. Tiga penumpang lain di mobil itu diduga dalam kondisi serupa. Tak ada masalah dengan kondisi mobil, termasuk sistem remnya.
Dengan kesadaran pengemudi yang sangat menurun akibat narkoba dan kurang tidur—bahkan Afriyani mengaku sempat terlelap beberapa detik—siapa pun tahu kecelakaan hanya soal waktu. Tapi tak banyak yang menyangka sembilan nyawa begitu mudah direnggut mobil celaka itu.
Tentu saja pelaku terancam hukuman berat dengan korban begitu banyak. Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencantumkan hukuman enam tahun untuk pengemudi lalai yang mengakibatkan korban jiwa. Bila unsur kesengajaan membahayakan orang lain terbukti, hukuman bisa menjadi sepuluh tahun. Tapi undang-undang ini perlu revisi karena belum memasukkan hukuman untuk kecelakaan yang memakan korban jiwa akibat pengemudi memakai narkoba.
Undang-undang itu juga tak tegas mengatur larangan mengemudi bagi orang yang menenggak alkohol atau narkoba. Pasal 106 hanya menyebutkan: setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Yang dimaksud "penuh konsentrasi" itu baru muncul dalam penjelasan undang-undang, yaitu penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton televisi atau video, atau mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan.
Artinya, pemabuk dan pemakai narkoba dianggap sama dengan orang sakit, mengantuk, memakai telepon, atau menonton televisi di dalam mobil. Tidak ada pasal khusus yang mengatur ambang batas alkohol dalam darah dan sebagainya. Lemahnya undang-undang ini berakibat minimnya pengawasan terhadap pengemudi slebor.
Afriyani Susanti pasti sulit mengelak dari tangan hukum. Perempuan lajang 29 tahun itu mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Tapi negara juga mesti mengusahakan rehabilitasi untuk mengobati kecanduannya. Itu pun bila Afriyani hanya terbukti sebagai pemakai narkoba. Kalau ternyata pengedar narkoba, ia bisa lebih lama bergaul dengan penjara.
Yang paling mencemaskan, kita tahu bukan hanya Afriyani seorang yang memakai narkoba. Pemakaian narkoba, terutama di kota-kota besar, ditaksir mencapai tingkat mengkhawatirkan. Artinya, setiap saat di jalan raya, ancaman dari pengemudi slebor bisa tiba-tiba datang. Tak ada orang waras yang berharap tragedi Tugu Tani kembali berulang. Itu berarti perang melawan narkoba perlu terus dikobarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo