Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Hatta
Staf Dokter Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang tahun ini, sembilan pesohor telah ditangkap polisi karena kasus penyalahgunaan narkotik. Mayoritas mereka adalah pengguna sabu yang berdalih menggunakannya untuk meningkatkan atau memelihara stamina agar dapat bekerja. Fenomena tersebut menandakan kembalinya popularitas turunan methamphetamine (sabu dan ekstasi) setelah dikuasai oleh ganja sejak awal dekade 2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak dulu, penggunaan zat untuk meningkatkan stamina dan kekuatan telah dikenal oleh pelbagai budaya di seluruh penjuru dunia. Novel Zhaoyang Qushi membeberkan ramuan yang digunakan Kaisar Cina zaman dulu untuk mempertahankan keperkasaannya. Pada masa Perang Dunia II, kristal sabu bahkan digunakan pelbagai lapisan masyarakat Jerman, dari pengemudi panser hingga Sang Fuhrer, agar dapat beraktivitas selama berjam-jam (Ohler, 2015).
Berbeda dengan turunan morfin, yang baru digunakan sebagai obat penghilang nyeri pada era 1960-an, sabu dikenal luas sejak 1930-an sebagai pil anti-obesitas dan anti-depresan (Anglin et al., 2000). Itu sebabnya para pengguna sabu merasa "lebih baik" ketimbang pecandu heroin karena mereka merasa mengkonsumsi obat dokter, bukan sekadar ramuan herbal (Cuzen, 2015). Dibanding ganja-yang lebih dipandang sebagai alat rekreasional belaka-sabu dianggap lebih "serius" karena digunakan untuk meningkatkan kinerja dan stamina (Boshear, 2011). Di Indonesia, budaya permisif masyarakat kita terhadap penggunaan "obat kuat" pun semakin mempopulerkan aspek fungsional sabu atau ekstasi.
Umumnya, perilaku penyalah guna sabu dibagi menjadi kelompok pengguna sosial-rekreasional dan fungsional (McKetin, 2007). Kelompok pertama ditandai dengan penggunaan narkotik dalam aktivitas yang melibatkan banyak orang, seperti pesta, pertemuan kelompok sosial, atau reuni sekolah. Ganja, sebagai representasi kelompok ini, dipandang sebagai alat sosial agar pengguna dapat dipandang setara dan diterima bergabung dalam kelompok sosialnya. Tak mengherankan bila kelompok pengguna narkotik ini didominasi oleh remaja yang tengah dalam krisis pencarian identitas (Cuzen et al., 2015).
Laksana orang kena tenung, pengguna sabu lebih "serius" karena sabu dianggap sebagai kebutuhan fungsional agar mampu menyelesaikan tugas dan memperbaiki kinerja (Copes et al., 2017). Tak mengherankan jika grup pengguna ini diwakili oleh para pesohor serta pekerjaan lain yang terus-menerus membutuhkan stamina dan kewaspadaan tinggi. Karena ada tujuan pasti dan tetap produktif seperti sediakala, mereka tak memiliki perasaan bersalah sebesar yang dialami pecandu lain. Padahal rasa bersalah tersebut merupakan fondasi awal untuk membangun kepercayaan diri dan orang lain dalam proses pemulihan kecanduan (Levine & Cohen, 2018). Kondisi khas tersebut terwakili dengan baik pada sosok Nunung, yang mengkonsumsi sabu guna menunjang pekerjaannya sebagai komedian kawakan.
Sosialisasi yang keliru pada masa lalu turut memberikan andil pada menjamurnya pengguna fungsional. Ketika putauw marak pada medio 1990-2000, pemerintah menggunakan strategi menakut-nakuti dengan menggambarkan pecandu narkotik yang loyo, berbadan kurus kering, suka membolos sekolah/kerja, dan sakit-sakitan. Pandangan keliru tersebut akhirnya terpatri di benak masyarakat. Padahal sebagian besar pecandu sabu saat ini malah berbadan ideal, sepintas kelihatan sehat dan justru rajin bekerja. Sedemikian dalamnya paradigma keliru tersebut sehingga para pecandu sabu biasanya enggan direhabilitasi dan baru dibawa ke pusat-pusat rehabilitasi saat sudah jatuh dalam tahap adiksi.
Strategi komunikasi semestinya menggunakan metode yang menekankan eksistensi dualitas efek positif-negatif penggunaan narkotik (cost benefit analysis). "Modifikasi budaya" sejak awal terbukti dapat mengubah paradigma dan budaya lokal yang kadung dianut (Suyanto, 2010).
Namun modifikasi itu amat bergantung pada derajat pengetahuan (literasi) tentang narkotik oleh masyarakat. Individu dengan literasi rendah cenderung sulit mengambil keputusan, malas mencari informasi tambahan, dan tak peduli dampak penggunaan narkotik terhadap kesehatannya (Andrus & Roth, 2002). Ironisnya, iliterasi narkotik juga terjadi di kalangan aparat hukum itu sendiri. Kasus penemuan tujuh kilogram tawas yang dirilis sebagai sabu di Kepolisian Resor Sidrap, Sulawesi Selatan, adalah contohnya.
Pemerintah pun mesti menghidupkan kembali program-program yang bersifat pengurangan dampak buruk narkotik yang telah "mati suri" semenjak pola penggunaan berubah dari injeksi putauw ke narkotik jenis sabu yang dihirup. Program tersebut antara lain berupa penguatan institusi rehabilitasi, integrasi layanan medis dan konseling sosial secara komprehensif serta edukasi para pecandu untuk mengenali faktor risiko yang dapat membuat mereka kembali memakai sabu (Gere, 2017). Di Vietnam, program pengurangan dampak buruk narkotik ini menghemat uang negara sebesar US$ 831 per pecandu (Vuong et al., 2017), sementara program anti-narkotik yang mengedepankan pendekatan keamanan malah meningkatkan prevalensi kecanduan kembali hampir dua kali lipat (Harp, O’Connell & Leukefeld, 2012).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo