Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Obral Diskon Hukuman Koruptor

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember ini seharusnya menjadi momentum bagi penegak hukum untuk kembali mengobarkan perang melawan kejahatan luar biasa itu.

9 Desember 2019 | 07.00 WIB

Pelukis Mural dalam perayaan Hari Anti-Korupsi Internasional di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (09/12).  Acara yang digelar di halaman KPK rencananya akan menampilkan parade ekspresi seni budaya dan kampanye musik antikorupsi yang mengusung Tema Berani Jujur, Hebat. TEMPO/Seto Wardhana
Perbesar
Pelukis Mural dalam perayaan Hari Anti-Korupsi Internasional di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (09/12). Acara yang digelar di halaman KPK rencananya akan menampilkan parade ekspresi seni budaya dan kampanye musik antikorupsi yang mengusung Tema Berani Jujur, Hebat. TEMPO/Seto Wardhana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember ini seharusnya menjadi momentum bagi penegak hukum untuk kembali mengobarkan perang melawan kejahatan luar biasa itu. Sayangnya, pesan sebaliknya justru datang dari lembaga seperti Mahkamah Agung. Lembaga yudikatif itu belakangan ini terkesan mengobral diskon hukuman bagi terpidana korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mahkamah terlihat kian ramah kepada para koruptor, setidaknya setelah salah satu hakim agungnya, Artidjo Alkostar, pensiun pada tahun lalu. Sebelum pensiun, Artidjo dikenal sebagai hakim yang sering kali memperberat hukuman bagi koruptor. Setelah dia pergi, banyak koruptor yang terbukti bersalah di pengadilan tingkat pertama dan kedua mendapatkan korting hukuman di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal bulan ini, misalnya, Mahkamah Agung memangkas masa hukuman untuk bekas Menteri Sosial, Idrus Marham. Hakim kasasi memangkas hukuman bagi politikus Golkar itu dari 5 tahun menjadi 2 tahun penjara. Pada dua tingkat peradilan sebelumnya, Idrus dinyatakan terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.

Pada Juli lalu, Mahkamah Agung juga membuat putusan yang mengusik rasa keadilan. Mahkamah membebaskan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, yang sebelumnya divonis 15 tahun penjara. Syafruddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tapi hakim kasasi membebaskan Syafruddin dengan dalih kasus yang membelit terdakwa bukanlah perkara pidana.

Nama beken lain yang menikmati korting hukuman adalah bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, dalam kasus suap impor gula; bekas hakim konstitusi, Patrialis Akbar, dalam kasus dagang perkara; dan pengacara senior, Otto Cornelis Kaligis, dalam kasus suap hakim. Indonesia Corruption Watch mencatat, sepanjang 2007-2018, Mahkamah Agung setidaknya telah membebaskan 101 narapidana korupsi.

Alih-alih menjadi benteng terakhir, Mahkamah Agung kini malah menjadi titik lemah dalam pemberantasan korupsi. Yang berbahaya, obral diskon hukuman oleh hakim agung secara psikologis bisa menggerus semangat para hakim di bawahnya untuk menghukum berat para koruptor. Padahal, tanpa hukuman berat, pencuri uang negara tak akan pernah jera.

Argumen Mahkamah Agung bahwa terpidana korupsi yang mengembalikan kerugian negara layak mendapat keringanan hukuman jelas mengada-ada. Tugas hakim agung bukanlah menilai kelakuan para terpidana setelah mereka divonis bersalah oleh hakim pertama atau banding. Hakim agung tak pantas pula mengambil alih tugas sipir dalam menilai kelakuan para terpidana di penjara. Ketika menerima permohonan kasasi, tugas hakim agung adalah memeriksa dan menilai apakah terjadi kesalahan dalam penerapan hukum oleh pengadilan di bawahnya.

Lagi pula, dalam konteks perkara korupsi, ada ketentuan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghentikan penuntutan perkara. Para hakim seharusnya menafsirkan pasal tersebut sebagai perintah undang-undang untuk tidak sekali-kali bersikap lembek terhadap pelaku korupsi.

Demi merawat semangat pemberantasan korupsi yang tengah dilemahkan dari pelbagai sisi, tak ada pilihan lain, masa obral diskon hukuman bagi koruptor harus segera diakhiri.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 9 Desember 2019

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus