Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Obral Janji

Janji itu semestinya disambut riang gembira. Apa yang terjadi? Masyarakat justru tertawa. 

 

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Betapa sejahteranya rakyat Indonesia. Kelak, setelah presiden baru hasil Pemilu 2024 dilantik, rakyat tak perlu membeli bahan bakar minyak (BBM). Semuanya gratis. Anak-anak yang masih sekolah akan diberi makan siang. Gratis pula. Jika sudah saatnya kuliah, semiskin-miskinnya orang tua, anaknya diupayakan menjadi sarjana. Satu keluarga miskin minimal satu sarjana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia pendidikan akan maju pesat. Para guru digaji Rp 30 juta per bulan. Guru yang baru diangkat digaji Rp 10 juta. Dunia hukum pun pasti maju. Hakim akan sejahtera dengan gaji yang lumayan. Tak ada hakim yang jual-beli hukum. Masalah kesehatan jangan ditanya pula. Penduduk bahagia dalam keadaan sehat. Ada program satu desa dengan satu fasilitas kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah janji para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) jika digabungkan. Penggabungan janji ini memungkinkan karena di antara para capres-cawapres tak ada saling membantah. Pemerintah pun tak ada komentar. Sepertinya semua sepakat.

Beda dengan janji kampanye lain, misalnya, soal Ibu Kota Negara (IKN) yang dibangun di hutan Kalimantan Timur. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjanji, jika memenangi Pemilu 2024, akan membatalkan IKN. Janji itu kemudian diteruskan capres Anies Baswedan dengan menyebutkan akan mengevaluasi IKN jika terpilih menjadi presiden. Kontan timbul reaksi, baik dari partai politik lainnya maupun langsung dari Presiden Joko Widodo. Dengan alasan bahwa IKN sudah ada undang-undangnya, siapa pun presidennya kelak wajib melanjutkan proyek itu.

Apakah Jokowi dan partai politik yang mengecam pembatalan IKN ini tak paham aturan tata negara? Undang-undang bisa diganti atau direvisi oleh pembuat undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah. PKS menyebutkan kalimat “jika menang pemilu” dan Anies menyebutkan “jika terpilih menjadi presiden”. Kalau PKS tidak menang dan Anies gagal menjadi presiden, ya, IKN pun berlanjut. Artinya, sebuah proyek, meskipun itu strategis, bisa berubah jika undang-undangnya diganti. Pergantian yang wajar. Sekarang saja undang-undang yang mengatur usia capres dan cawapres bisa diganti oleh Mahkamah Konstitusi yang bukan wewenangnya hanya untuk memasukkan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Padahal pergantian itu jelas cacat etik, cacat moral, dan cacat konstitusi sampai Ketua MK dicopot. Cacat yang menjadi sejarah kelam bangsa yang akan dikenang selamanya. Presiden tampaknya perlu belajar bagaimana setiap kebijakan, termasuk undang-undang, memang bisa berubah karena bukan kitab suci.

Kembali ke soal janji-janji yang tak berkaitan dengan IKN. Janji itu semestinya disambut riang gembira. Apa yang terjadi? Masyarakat justru tertawa. Coba dengarkan suara-suara masyarakat dan yang diunggah di media sosial. Ada yang meniru gaya Asmuni, pelawak Srimulat, dengan menyebutkan “janji yang hil mustahal”. Ada yang mengutip pepatah “bagai pungguk merindukan bulan”. Atau sindiran ini, “Jaka Sembung, parang dikira golok, tidak nyambung, rakyat dikira goblok.”

Rakyat tampaknya lebih cerdas. Apa mungkin BBM bisa gratis dan tidak lagi diimpor? Sampai ada yang mengusulkan janji itu jadi benar jika ditambah kalimat: “BBM gratis bagi pengguna sepeda motor dan mobil listrik.”

Makan siang gratis membutuhkan anggaran paling sedikit Rp 400 triliun per tahun. Gaji guru sampai Rp 30 juta dan gaji hakim naik. Setiap desa ada fasilitas kesehatan, apa jumlah dokter sudah mencukupi? Tapi inti dari umbaran janji itu adalah uangnya tak disebutkan dari mana datangnya. Semakin mustahil lagi karena semua hal dibuat gampang seolah-olah selesai dengan kucuran uang.

Janji kampanye bagus sebagai gagasan. Jika diobral tanpa ditopang data pendukungnya, sama saja dengan janji gombal. Setiap kali pemilu, janji itu diobral dan selalu rakyat kena tipu. Cuma kali ini rakyat lebih cerdas. Dari capres mana pun datangnya, janji-janji itu ditelisik kemungkinan bohongnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus